free page hit counter

Toleransi dan Kebhenikaan Pada Perkemahan

Indonesia adalah masyarakat yang kaya akan keberagaman, berbagai macam suku bangsa, ras,
agama dan kebudayaan. Banyak hal yang mempengaruhi keberagaman tersebut. Seperti letak
giografis dan keberadaan Indonesia yang terletak di tengah-tengah garis katulistiwa.
Banyak hal yang dapat menyatukan keberagaman tersebut, seperti perkemahan besar tingkat
nasional yang hampir setiap tahun selalu dilakukan oleh Kwartir Nasional Gerakan Pramuka.
Pada tahun 2023 ini saja ada tiga perkemahan nasioanal yang laksanakan di Buperta Cibubur,
Jakarta Selatan. Perkemahan Lomba Tingkat untuk pramuka penggalang, Karang Pamitran
Nasional untuk pembina pramuka dan Raimuna Nasional untuk Pramuka Penegak dan Pandega.
Selain itu ada satu perkemahan yang dilaksanakan di Kalimantan Selatan, Kemah Bela Nagara
untuk pramuka penggalang.
Peserta pada perkemahan tersebut adalah anggota pramuka Indonesia, peserta didik dan orang
dewasa dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia. Bahkan beberapa Pramuka dari luar negeri
pun turut di undang, seperti Malaisya, Thailand dan Brunai.
Penulis teringat sebuah pengalaman menarik tentang toleransi dan kebhenikaan pada
perkemahan. Siang itu ada seseorang dari kontingen Jawa Tengah datang dengan ramah ke tenda
penulis. “Selamat siang kakak, nama saya Ais dari kontingen Jawa Tengah, saya sedang
mengumpulkan kalimat „terima kasih‟ dari berbagai bahasa yang ada Indonesia.”
“Oh iya Ais, silahkan duduk dulu. Nama saya Aidil dari Kalimantan Selatan. Dari Suku Banjar.
Bahasa Banjar „terima kasih‟ itu adalah „gumbili‟.
“Masa? Kalau di Jawa „gumbili‟ itu makanan yang ada di tanah, seperti singkong.”
“Oh bukan.. kalau itu kami menyebutnya „gembili‟.”
“Oh iya iya…”
Tak lama teman penulis datang membawakan kue untuk kami makan bersama. Setelah
meletakkan kue, teman penulis ingin meninggalkan tempat.
“Ais, kita kan sudah mendapat kue, selanjutkan bilang apa, bilang apa.” Kata penulis.
Dengan percaya diri Ais bilang “Gumbili kakak.”
Spontan teman penulis yang ingin pergi tadi menjawab “mamak-mamak”. Dia pun meninggalkan
si Ais dan penulis.
Ais bertanya “‟mamak-mamak‟ itu artinya apa kak?”
“Oh itu „mamak-mamak‟ itu artinya sama-sama”
Ais pun menulis pada kertasnya “Bahasa Banjar „Terima Kasih‟ adalah „Gumbili‟ dan „mamakmamak‟ artinya „sama-sama‟”
Cerita di atas adalah contoh bercana dalam toleransi dan kebhenikaan. Tentu saja pada saat itu si
penulis meluruskan candaannya sebelum mereka berpisah. Bahwa bahasa Banjarnya „terima
kasih‟ adalah „terima kasih‟ dan „sama-sama‟ adalah „sama-sama‟.
Tahun 1920 pernah ada kejadian serupa, pada Jambore Pramuka Dunia pertama. Anak-anak dari
34 negara menghadiri acara tersebut, maka pendiri Pramuka, Robert Baden-Powell membuat
sebuah lagu berjudul ging gang goollie. Lirinya seperti ini:
Ging gang goolie goolie goolie goolie watcha,
Ging gang goo, ging gang goo.
Ging gang goolie goolie goolie goolie watcha,
Ging gang goo, ging gang goo.
Hayla, oh hayla shayla, hayla shayla, shayla, oooooooh,
Hayla, oh hayla shayla, hayla shayla, shayla, oooh.
Wally Wally, Wally Wally, Wally Wally, Wally Wally,
Oompah, oompah, oompah, oompah.
Bagian teruniknya lagu ini tidak mempunyai makna terjemah secara teks namun lagu ini berhasil
membuat anak-anak yang berbeda bahasa tersebut ikut bernyanyi dan tidak merasa seperti lagu asing.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *