Tahun Kedua Aisyah di Sekolah, Damaikan ‘Kekerasan Ekstrem’ (Part 02)
Creative Content/Cerpen – Pada sebuah mata pelajaran Seni Budaya sosok Bapak guru yang antusiasime tinggi sekali mengajak para murid-murid berwisata ke sebuah situs populer di Kota Banjarmasin. Pulau Kambang, mendengar nama tempat liburannya saja sudah menggaungkan teriakan senang seisi kelas 6 siswanya di SD Negeri 1 Kalimantan Selatan.
“Syah, kamu suka gak minuman ini (menunjukkan hp-nya foto thai tea kombinasi serat pisang)?”, bisik Bhavya yang berada dari belakang kursi Aisyah, lalu Guru pun menengok ke mereka yang berada di pojok belakang kanan bagian kelas.
“Siapa yang di pojok kiri sedang bicara saja dari tadi! gak tahu Bapak sedang menerangkan di depan!!, teman-teman lainnya sedang happy dan mengangkat tangannya semua, kalian ngobrol apa?, maju kedepan sini!”, Pak Guru mengangkat alis-mata kanannya.
“Bhav, tuh kan kita dipanggil maju, duh!! nanti aja kita ngobrol tentang kantin baru itu,” kesal Aisyah ke Bhavya.
Aisyah (berusia 10 tahun) pun keluar dari kursinya bersama Bhavya maju ke depan. Mereka tak habis pikir akan dihukum. Teman-teman sekelasnya pada melotot menatap mereka berdua. Bhavya & Aisyah hanya bisa tersipu malu dengan caranya masing-masing. Bhavya (berusia 11 tahun) yang terkenal sosok pemalu menutup mukanya dengan kedua tangannya sambil berjalan, sedangkan Aisyah sangat berbeda dia adalah sosok yang cuek, agresif, namun mudah menangis, matanya mulai terlihat sedikit berkaca-kaca (sedih) saat di depan pusat perhatian.
“Kamu berdua, katakan apa yang bapak sampaikan barusan?”, pak guru ngomel
“Saya nggak dengar pak”, sahut Bhavya sedih, Aisyah diam seribu bahasa air matanya mulai disapunya.
Mereka habis-habisan dihukum oleh gurunya untuk bernyanyi di depan kelas. Karena ulah mereka sendiri yang tidak memperhatikan dalam kelas. Bhavya yang gak pandai nyanyi terpaksa melantunkan lagu “Bagimu Negeri (by Koesbini)”, beda halnya dengan Aisyah dia mempersembahkan reef-lagu pop “Deen Assalam (by Sabyan)” seisi kelas terbengong ngeliat suaranya yang begitu indah, sampai-sampai seorang temannya Abdul Rohman Hakim (berusia 11 tahun) yang menyukainya terkesima mendengarnya dan menatapnya.
Gurunya telah memaafkan mereka berdua, pada akhir mata pelajaran Seni Budaya, gurupun meminta nama-nama siswa yang ikut dalam kegiatan wisata edukasi di lapangan beserta biaya yang harus disetorkan. Semua siswa sudah pulang ke rumah sendiri-sendiri dan telah mendapatkan izin dari orangtua mereka masing-masing.
“Nur!!! Bekal ketinggalan!”, teriak Ibunya melihat Aisyah yang buru-buru mau berangkat ke sekolah.
Sudah menjadi Nur Aisyah kebiasaan bangun kesiangan melulu, sholat shubuh sih tepat waktu pukul 05:10 namun setelahnya bobo kembali di kasurnya hingga mau jam sekolah baru mandi dan bersih-bersih.
Pukul 07:30 Di halaman sekolah sudah lengkap semua teman-temanya berbaris menghadap bus yang akan mereka tempati. Aisyah menghela nafas panjang habis lari-larian ke sekolahnya.
“Kamu itu jeruk atau mangga?” ledek Abdul yang berbaris di sekitarnya.
“Kenapa Dul? Gak nyambung!”
07:55 tepat supir bus nya mulai menginjak pedal gas dan roda mobil bergerak menuju Titik Siring KM 0 Kota Banjarmasin BAIMAN (Barasih Wan Nyaman), hingga sampailah di depan Dermaga Pulau Kambang Banjarmasin disambut oleh monyet-monyet nakal menaiki perahu, semua siswa teriak-teriak ketakutan.
“Tolong mana ketua kelas? Tolong bagikan menjadi dua barisan, wanita di kiri, pria di kanan,” Mereka antusias mengelilingi situs pulau ini dengan sungguh riang, canda, tawa, dan kebahagiaan.
Satu jam kemudian suasana happy itu berubah menjadi ketegangan di tengah-tengah Tur tersebut. Gimana halnya terjadi pertemuan Tur dengan siswa-siswa dari Sekolah SD yang lain juga berada disini.
“Alexander, nama yang jelek, kamu Kristen kan?“, aksi bully Dengsi kepada Alex.
Dengsi seorang siswa SDN 4 Kalimantan Utara terdengar membuat ulah kepada Alexander yang sekolah di SDN 1 Kalimantan Selatan bersama Aisyah, Bhavya, dan Abdul.
“Dari tadi ngeledek mulu lu, lu dari sekolah mana, jangan bawa-bawa agama gua?”, marah Alex kepada Dengsi.
“Woi Dengsi! Ada yang salah dengan saya menganut Kristen? , kamu orang Buddha jangan macam-macam dengan saya!”, teriak Alex ke Dengsi seketika-pun didengar seluruh barisan siswa yang sedang tur kecuali guru kelasnya yang sedang sibuk di kamar kecil.
Mereka berdua pun tawuran di tengah tur wisata area Pulau Kembang. Disana dengan kondisi jalan yang penuh dengan jurang, jika terjatuh membuat basah kuyup dan bahkan bisa kena tumpukan kayu dan pepohonan yang berduri, berbahaya bagi nyawa mereka.
Seketika sigapnya Aisyah sosok yang di sekolah lamanya, SDN 13 Kalimantan Utara, terkenal sebagai cewek berbadan pendek namun super agresif, berpakaian norak serba orange jilbab, pakaian, dan roknya serta dilapisi dengan jaket kuning terang, berkacamata lensa minus, membawa tas ransel, maju dan teriak tegas ke mereka berdua mencoba menengahi kesalahfahaman pikiran masing-masing.
“Tunggu sebentar!!!”, lagaknya dengan keras telah membuat teman rombongan disampingnya bengong.
“Jangan halang-halangin gua Syah!”, sahut Alex.
“Biar ku hajar dia karena sudah membawa-bawa agamaku,”
“Nggak! Dia duluan menghina agamaku Neng!”, terang Dengsi seorang siswa yang berasal dari sekolah lain berbicara ke Aisyah.
“Masih aja lu ga ngaku juga, yang lain pada dengar kan?”, tambah Alex menatap ke Aisyah, Dengsi, dan semua rombongan siswa disana.
“Tunggu! Tunggu apa sih ceritakan dari paling awal apa yang membuat kalian sampai tawuran gini?”, Aisyah mencoba mendekat ke samping Alex.
“Syah, Itu di sana ada pendopo, Disini kita menghalangi jalan orang-orang,” bisik Abdul mendekati telinga Aisyah.
Pak gurupun masih juga belum terlihat karena beliau sedang izin di kamar kecil buang air besar katanya, kesalahan makan apa gitu pagi tadi warung kantin sekolah. Aisyah mengajak mereka berdua untuk duduk Pendopo di ujung jalan itu, para siswa juga ikut berdirian di dekatnya.
“Baik Alex dan Dengsi, kenalkan saya Nur Aisyah, saya pernah melakukan ini sebelumnya pada tawuran saat di sekolah lama saya SDN 13 Kalimantan Utara, ini disebut mediasi atau cara bedamai, jadi saya akan netral dan tidak memihak kalian berdua, jelas? Sekarang saya akan tanya satu-satu dengan koin Uang 500an ini saya akan lemparkan ke atas sesaat lagi, jika keluar gambar garuda Dengsi boleh duluan bicara ke saya, jika gambar angka 500 maka Alex yang boleh bicara duluan ke saya, tidak boleh menyahut antar pihak sampai saya bilang selesai. Setuju?”
“Sip!!” sahut Alex & Dengsi marah-marah berdua.
Koin pun berputar-putar ke arah langit, hingga mendarat di telapak tangan Aisyah kemudian dibuka perlahan nampak gambar Garuda. Dengsi-lah berhak pertama menceritakan kronologis versi dirinya.
“Saya kan rombongan terakhir mengambil kamera DSLR saya tertinggal tadi di warung, (flashback) teman-teman saya semuanya sudah pada di perahu nungguin saya, jadi saya buru-buru lewat jalur ini lalu saya menyenggol pelan bahu dia (Alex) ini. Dia nanya siapa nama saya, lalu usia saya, lalu agama saya. Saya bilang (maaf-bro tidak sengaja) lalu saya terus jalan. Diapun memanggil saya dan dia bertanya lagi (apa agamamu? mana adabmu!) katanya. Saya jawab refleks (Aku Dengsi, aku beragama Buddha, ada apa bertanya?). Lalu ini, lalu itu, hingga saya tonjok dia karena telah menghinaku dan membawa-bawa agamaku.”
“Oke Dengsi sudah?, lanjut Alex ceritakan?“, kata Aisyah.
Alex menceritakan kronologisnya. “Aisyah, Gua ini tadi lagi ngasih pisang ke monyet di pohon itu, (flashback) tiba-tiba aja ditabraknya, lalu ku bilang kamu dimana adabnya lalu pergi begitu saja, ku tanya aja kamu beragama gak sih gitu. Saya sahut aja kamu diajarin gak di Agama Buddha mu itu untuk minta maaf. Dan lain-lain lalu saya duluan tonjok aja mukanya. Jadi siapa yang salah emang?”
Aisyah mengkonfirmasi ke masing-masing pihak maksud positifnya. “Jadi Alex! Dengsi! masing-masing punya maksud yang baik sebenarnya, dari sisi Dengsi dia terburu-buru mengambil kameranya dan berlari untuk mengejar perahunya, juga maksud punya positif yaitu ingin keadilan dan tidak adanya kekerasan fisik sebelumya bicara secara jernih terlebih dahulu. Sedangkan dari sisi Alex bermaksud positif ingin mengajak bicara ke Dengsi untuk mengatasi kesalahfahaman ditabrak tadi dan Alex juga bermaksud positif mencegah diskusi perihal meledek agama pihak lain.”
Apakah masuk akal?”, tanya Aisyah ke mereka berdua.
Singkat cerita Aisyah menanyakan ke masing-masing pihak apa yang akan dilakukan sekarang. Dengsi menginginkan kata maaf dari Alex yang telah memukulnya paling awal, Alex setuju hal ini apa yang dikeluhkan Dengsi, karena hanya tidak sepantasnya kekerasan fisik mengalahkan logika sepakat mereka berdua.
Dari sisi Alex adalah menginginkan Dengsi meminta maaf telah meledek Agamanya Kristen dikaitkan dengan sahut-sahutannya yang terkesan kasar dan SARA atau meledek agama, Alex juga mengakui keluhan Dengsi bahwa Dengsi hanyalah menyenggol pelan bukan menabrak keras Alex. Alex sadar akan hal ini dan situasinya memang Dengsi kurang berpikir jernih karena terburu-buru takut tertinggal jalan untuk pulang.
Aisyah menanyakan komitmen keputusan yang disepakati kedua belah pihak. Aisyah menyimpulkan hasil dan berterima kasih atas kerjasamanya. Tiba-tiba pak Guru yang tadi dari Kamar Kecil kembali “Ada apa ini?”. Lalu mereka bertiga dan tertawa seolah-olah tidak terjadi apa-apa kecuali siswa lainnya muka datar pada lirik-lirikan. Dengsi dan Alex pun bersalaman dan jalan bareng ke dermaga perahu. Puluhan siswa dari dua sekolah berbeda pun barengan menaikin perahu lalu pulang ke sekolah masing-masing. “Hehhhh!!!” teriak rombong beberapa siswi SDN 1 Kalimantan Selatan perahu kedua yang terakhir diloncatin para monyet lagi. (SRH/IAN)
Sumber gambar: dreamstime.com, koreatesol.org, thoughtco.com, celebes.co, edutopia.org.
Baca Juga: “Kamu Muslimah Toleran, Jilbab di Sekolah Memang Ada Kebebasan Nur” (Part 01)