Radikalisme dan Terorisme: Cara Mereka Tumbuh di Indonesia
Foto pada 13 Oktober 2002 memperlihatkan para polisi memeriksa reruntuhan kelab malam yang hancur akibat bom Bali di Denpasar (kompas.com).
Perubahan tatanan sosial dan politik telah menuntut adanya stratifikasi sosial di tengah masyarakat Indonesia. Hal ini bukanlah sesuatu yang berbahaya karena memang terjadi secara dinamis sejak awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945 dan merupakan suatu yang menjadi fitrah manusia. Namun seiring waktu, kondisi ini menjadi suatu yang berbahaya ketika mulai merebaknya isu-isu Radikalisme dan Terorisme. Salah satu isu global yang erat kaitannya dengan isu stratifikasi sosial adalah kelompok yang mengklaim dirinya Al-Qaeda dan ISIS. Kelompok ini merupakan contoh bentuk perlawanan global kelompok radikal islam terhadap ketidakadilan dunia. Meskipun kelompok tersebut mengatasnamakan islam, tetapi gerakan yang dibawanya sangat jauh dari nilai-nilai islam itu sendiri.
Radikal dan radikalisme merupakan dua hal berbeda. Menurut KBBI, radikal/ra·di·kal/ dapat diartikan sebagai kata sifat yang merujuk pada kondisi secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Contohnya perubahan yang radikal, berarti perubahan tersebut terjadi pada bagian yang menjadi dasar-dasar atau prinsip tertentu. Tahun 1990, istilah radikal ini memiliki pengertian yang nampak lebih netral atau cenderung positif, yakni radikal berarti maju dalam berpikir atau bertindak. Namun seiring perkembangan, istilah ini mengalami pegeseran sehingga banyak yang salah paham ketika mendengar kata radikal.
Adapun radikalisme/ra·di·kal·is·me/ menurut KBBI adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik; paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; sikap ekstrem dalam aliran politk. Cara kekerasan yang dilakukan oleh penganut paham ini kemudian menjurus kepada suatu yang menghasilkan teror.
Dalam kaitannya dengan startifikasi sosial, pelaku teror yakni teroris biasanya merekrut anggota dengan menyasar pada kelompok-kelompok tertentu. Misalnya, kelompok teroris di Indonesia yang mayoritas mengatasnamakan agama islam, diketahui muncul dari aliran yang dalam proses islamisasinya dilakukan secara tertutup, dan cenderung tidak terbuka pada pandangan Islam lainnya, apalagi yang berbeda keyakinan. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok teroris tersebut, sejak dari awal pembentukannya sudah didasarkan pada pemikiran yang intoleran terhadap kelompok lainnya. Selain melalui hal tersebut, diketahui pula bahwa kelompok radikal merekrut anggota dengan menyasar golongan masyarakat kelas ekonomi rendah. Melalui resolusi jihad yang digaungkan, kelompok ini juga berjanji akan mencukupi kebutuhan hidup dari anggotanya. Selain itu, biasanya terdapat pula masyarakt yang merasa termajinalkan oleh lingkungannya (Asrori, 2015). (RONI/AJP)