free page hit counter

Mengurai Radikalisme

Radikalisme adalah gejala global. Ia seperti virus yang tak bisa dibendung. Radikalisme sudah menjalar ke semua lini dan sisi kehidupan. Radikalisme saat ini tidak lagi pandang usia, ia bisa masuk ke mana saja, dari anak-anak sampai orang tua; dari kalangan tidak terdidik sampai kalangan terdidik; dari yang tidak paham agama sampai kepada yang paham dan tokoh agama; dari kalangan pra-sejahtera sampai kepada yang kaya-raya sekalipun.
Radikalisme sebagai benih awal aksi terorisme kontemporer tidak lagi seperti radikalisme klasik. Radikalisme klasik mudah dideteksi siapa pelakunya, di mana tempat terjadinya, kepada dan untuk apa terror itu dilakukan. Radikalisme saat ini sulit dideteksi aktor, lokus, motif, tujuan dan sebab-musababnya.

Dulu, radikalisme itu datang dari pinggiran, yakni mereka yang termajinalkan, terpinggirkan, tersisih dari kekuasaan, atau –dalam bahasa Yusuf Zaidan (2019) –mereka yang mau memisahkan dari kekuasaan negara. Saat ini, radikalisme bersifat acak, global, bisa datangnya dari pusat dan sangat sulit diidentifikasi gerak-geriknya.

Mempertimbangkan kondisi seperti ini, maka melawan radikalisme tidak bisa lagi secara sporadis, parsial, partikular, dan hanya tugas pemerintah semata. Butuh cara-cara yang komprehensif, kolektif, dan keikutsertaan semua pihak. Ini pun belum cukup, perlawanan itu juga harus dilakukan secara mengakar (radikal).

Ibarat pohon, akar tunjangnya harus diputus, tidak bisa hanya memotong akar serabutnya saja, atau batang saja. Jika virus radikalisme disebarkan dengan cara terorganisir, terstruktur, massif, dan rapi, maka cara-cara melawannya juga harus lebih sama. Sebab, sistem kejahatan yang terorganisir hanya bisa dikalahkan dengan sistem kebenaran yang terorganisir pula.

Akar Radikalisme
Para pakar mengatakan, bahwa akar (baca: benih) dari radikalisme yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan aksi terorisme adalah sikap intoleransi. Sikap intoleransi secara sederhana adalah sikap yang tidak mau menghargai pendapat, pemahaman, keyakinan orang lain. Entitas apapun yang berasal dari liyan tidak dihargai dan sekuat tenagan ditolak.

Sikap seperti ini menjadikan seseorang jadi eksklusif, menutup diri, dan menegasikan yang lain. Intoleransi pada akhirnya menjadikan seseorang tidak mempercayai orang lain, dan kebenaran sejati hanya pada aku atau kelompok-ku.

Mengapa seseorang bisa bersikap intoleran? Jawabannya tentu banyak. Akan tetapi, dari sekian faktor itu, agama menjadi salah satu penyebab. Kita tidak bisa mengatakan, bahwa hanya agama sematalah yang menyebabkan seseorang terkena virus radikalisme. Agama hanya salah satu dari sekian banyak faktor.
Noorhadi Hasan, guru besar dalam politik Islam UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, dalam satu sesi kuliah menyatakan: “Kalau kalian masih mengatakan agama menjadi faktor utama terjadinya radikalisme dan terorisme di forum-forum internasional, kalian akan ditertawakan dunia.” Sebab, menurutnya, faktor radikalisme itu sangat kompleks, tidak bisa disimplikasi pada satu variabel tertentu saja.

Untuk itu mengikis sikap intoleransi perlu pendekatan multi, inter, dan trans-disipliner; perlu strategi komprehensif; butuh partisipasi semua lapisan; dan pentingnya masuk dari semua sisi. Kerja-kerja kolektif, negara, ormas, partai politik, akademisi, masyarakat harus berperan aktif.

Menuju Toleransi
Semua pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan itu ditujukan untuk menumbuhkan sikap toleransi di tengah masyarakat. Selama ini, Badan Penanggulangan Terorisme Negara (BNPT), menggunakan du strategi dalam pencegahan radikalisme.

Pertama, kontra-radikalisasi, yakni upaya penanaman nilai-nilai keindonesiaan dan nilai-nilai nir-kekerasan. Upaya ini merupakan strategi untuk mencegah masyarakat melalui agama, budaya, pendidikan, sekolah, tokoh agama, tokoh adat, pemuda, dan stockholder dalam payung kebangsaan.

Kedua, deradikalisasi, yakni upaya perlawanan kepada para simpatisan, pendukung, dan pelaku radikalisme-terorisme. Strategi ini dilakukan, agar mereka meninggalkan cara-cara kekerasan dalam menyampaikan misi mereka yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keindonesiaan dan kebangsaan.

Jika cara yang pertama bersifat pencegahan, maka cara yang kedua adalah pengobatan. Kedua cara ini tentu sangat baik diterapkan dalam memutus akar radikalisme itu, yakni sikap intoleransi. Cara-cara pencegahan maksudnya, nilai-nilai keindonesiaan yang toleran, welas asih, dan guyub, menjadi modal yang sangat pas dalam menangkal sikap intoleransi.

Selama ini, strategi pengobatan lebih banyak dilakukan dari pada pencegahan. Padahal seharusnya pencegahan sebagai tafsir dari Penanggulangan harus lebih diutamakan. Sikap pencegahan baik itu berbasis agama, budaya lokal, pendidikan, pengajian, komunitas tertentu merupakan cara yang efektif dalam meminimalisir sikap intoleran.

Dengan demikian, melawan radikalisme secara radikal maksudnya adalah mencegah sikap intoleransi (sebagai akar dari radikalisme) dengan cara-cara mengakar. Cara-cara mengakar itu lebih mengutamakan pencegahan yang berbasis pada lintas disiplin, pendekatan, strategi, partisipasi, dan keaktifan dari semua kalangan.

 

Oleh: Hamka Husein Hasibuan

Editor : Hafizah Fikriah Waskan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *