MENCEGAH TERORISME DAN PAHAM RADIKALISME MELALUI BUDAYA DAERAH
Bicara tentang radikalisme, kita semua pasti tidak asing dengan film yang diperankan oleh Ariel Tatum dan Nicholas Saputra. Film tersebut berjudul “Sayap-Sayap Patah”, yang menceritakan tentang kerusuhan di Rutan Mako Brimop pada Mei 2018. Dikisahkan 5 polisi telah gugur akibat bom bunuh diri dan pembunuhan dengan senjata tajam yang disebabkan oleh Gerakan terorisme. Apabila kita amati, kegiatan terorisme yang terjadi pada film tersebut tidak lepas dari sebuah hasutan yang diberikan secara terus-menerus hingga mencuci otak korban, sehingga korban merasa bom bunuh diri yang dia lakukan merupakan sebuah jihad.
Hasutan-hasutan yang diberikan kepada korban merupaka suatu Tindakan radikalisme. Radikalisme berasal dari bahasa latin yaitu “radix” yang berarti dasar, berlebihlebihan, pembaharuan yang menggunakan cara kekerasan. Menurut (KKBI: tt: 309) radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial politik dengan kekerasan atau drastis. Secara sederhana radikalisme dapat diartikan sebagai kelompok yang melakukan tindakan kekerasan yang berkedok agama dan mengaku alirannya paling benar tanpa timbang rasa terhadap kelompok lainnya. Sebagai manusia yang beragama kita mengetahui bahwa agama apa pun sejatinya menekankan pentingnya perdamaian dan menghindari kekerasan pada pemeluknya. Jika ada ajaran kekerasan dari agama, kemungkinan besar itu merupakan tafsir yang menyimpang.
Sedangkan terorisme menurut Undang-Undang nomor 15 tahun 2003 mendefinisikan bahwa “terorisme adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas nasional”.
Sehingga pemahaman agama yang bersifat radikal yang ditambah lagi dengan kurangnya pendalaman saat mengkaji suatu ilmu agama. Dapat menyebabkan mudahnya terhasut oleh paham-paham radikal yang dibawakan oleh orang-orang yang tergolong teroris yang mengatas namakan jihad di jalan agama. Indonesia yang memiliki semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda namun tetap satu jua. Perbedaan yang dialami oleh negara ini berupa suku, ras, golongan, bahkan agama. Perbedaan itu merupaka suatu keunikan, namun peluang lainnya adalah penyebab perpecahan. Karena radikalisme sendiri bukan hanya terjadi di agama Islam namun agam lain pun tak luput dari sasaran radikalisme. Sehingga butuhnya perhatian dan kepedulian dari orang-orang sekitar yang mampu mencegah secara dini gerakan tersebut.
Salah satu jalan keluar yang ada untuk memberantas terorisme dan paham radikalisme adalah dengan adanya pendekatan budaya. Menurut Safuan (2018), Upaya tersebut dapat dilakukan melalui pendekatan kearifan budaya lokal yang penulis anggap mampu menjadi temeng pencegahan radikalisme dengan alasan: Pertama, budaya lokal memiliki sifat fleksibel yang mudah beradaptasi dengan baik terhadap perubahan yang sedang berlangsung tanpa menghilangkan identitasnya. Kedua, secara realitas budaya lokal memberikan ruang keterbukaan yang luas kepada budaya lain selagi tidak mengganggu adat-istiadat yang berlaku. Ketiga, kearifan budaya lokal menjadi kekuatan daya rekat dan sumber kontrol moral yang dianggap mampu membangun sikap yang baik layaknya seorang yang berbudaya.
Di era globalisasi yang penuh dengan ruang keterbukaan dan kebebasan saat ini, efektivitas kearifan budaya lokal sangat diperlukan sebagai pendekatan untuk meminimalisir maraknya pengaruh radikalisme. Jika ditelusuri lebih dalam, keberadaan budaya lokal menjadi suatu yang urgen untuk diterapkan. Pengaruh kebudayaan yang menjadi tameng bagi bangsa Indonesia adalah dari aspek bahasa dan tipologi orang melayu yang bersifat terbuka. Saat berbicara dengan orang tua, muda maupun anak-anak orang Melayu senantiasa memilih kosakata yang baik untuk diutarakan agar tidak terkesan seperti mengklaim seseorang. Tidak berlebihan jika dikatakan bahasa adalah ekspresi diri seseorang. Sedangkan bukti orang Melayu bersifat terbuka adalah hari ini di tanah Melayu seluruh masyarakat Indonesia dengan berbagai budaya itu ada. Jika seandainya orang Melayu bersifat tertutup akan menjadi ancaman besar bagi NKRI. Sebagai perekat NKRI budaya Melayu berupaya memberikan ruang keterbukaan kepada siapapun selama tidak melanggar budaya yang berlaku.
Sehingga perlunya menanamkan nilai-nilai budaya kepada anak-anak sejak dini. Nilai-nilai budaya tersebut selamanya akan terpatri di kepala. Dan seorang anak ketika menjadi manusia dewasa akan menjadi manusia yang tangguh pendiriannya dan tidak mudah terhasut oleh hal-hal yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam dirinya. Jika Pendidikan yang didapatnya cukup untuk membuat tameng itu, maka tidak adalagi yang gerakan terorisme dan paham radikalisme yang bersarang di Indonesia.
– Annisa Rahmalia
Referensi:
Isnanto, S. H. (2015). Berbagai Masalah dan Tantangan Radikalisasi dan Deradikalisasi Terorisme Di Indonesia . Jurnal Pertahanan , 5 (2). 225-244.
Kurniawan, P. (2018). Dialog Agama dan Budaya; Menangkal Gerakan Radikalisme di Tapanuli . -Jurnal Al-Maqasid, 4(2). 89-104.
Safuan, M. (2018). Menangkal Radikalisme Melalui Nilai-Nilai Luhur Kearifan Budaya Lokal. Pionir UIN Malang, 1-12.