free page hit counter

Pelaksanaan 4 Pilar Pemajuan Budaya Pencegah Terorisme dan Paham Radikalisme

Berbicara tentang kebudayaan, agaknya sangat erat kaitannya dengan masyarakat. Karena
memang, budaya memiliki ikatan yang erat dan sulit dilepas oleh kelompok
orang/masyarakat tertentu. Jika kebijakan yang diberikan pemerintah bisa diubah dan
dipatuhi oleh masyarakat, maka berbeda dengan budaya. Jika budaya diubah atau ingin
dihancurkan, maka bisa terjadi perlawanan dan penolakan yang sengit oleh masyarakat
tersebut.

Kata budaya sangat luas cakupannya, ada yang berupa tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat,
permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni,
bahasa, dan ritus. Ke-10 budaya tersebut merupakan objek pemajuan kebudayaan. Ada 4 pilar
utama yang harus dilakukan masyarakat terhadap pemajuan kebudayaan, yakni inventarisasi,
pengamanan, penyelamatan, dan pemeliharaan. Jika dilihat dari 4 pilar yang harus dilakukan
oleh masyarakat, maka tentu, kebudayaan ini harus terbebas dari hal-hal yang mengundang
perpecahan dan rasa tidak nyaman antar suku, karena Indonesia memiliki 38 provinsi dan
lebih dari 360 suku bangsa yang harus sama-sama dihargai.

Suku Banjar adalah suku yang berasal dari wilayah Kalimantan Selatan, sebagian dari mereka
juga berada di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur. Populasi suku Banjar juga dapat
ditemui di daerah lain seperti Riau, Jambi, Malaysia, dll. Hal ini di karenakan adanya
migrasi orang Banjar ke Kepulauan Melayu pada abad ke-19. Suku Banjar ini juga umumnya
terbagi menjadi 3 sub suku, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala.

Karena banyaknya populasi dan ragam suku Banjar, maka tidak salah kalau suku Banjar
memiliki banyak sekali kebudayaan, dimulai dari alat transportasi yang sering mereka sebut
‘Jukung’, rumah adat yang diberi nama ‘Rumah Banjar’, seni teater tradisional ‘Mamanda’,
dan tradisi lisan yang sangat populer, yaitu ‘Madihin’. Mengapa saya katakan jika tradisi
lisan madihin ini sangat populer? Ya! Karena saya adalah mahasiswi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia yang erat kaitannya dengan kebudayaan dan kesastraan di wilayah Kota
Banjarmasin. Ketika kami mengadakan acara seminar atau event di prodi, penampilan
madihin tidak bisa dilewatkan tiap kali. Tidak hanya itu, dalam acara besar Banjarmasin ART
Week 2022, penampilan madihin juga tidak terlewatkan, hal ini merupakan wujud nyata
pelaksanaan 4 pilar pemajuan budaya, yakni pemeliharaan.

Madihin merupakan warisan budaya tak benda yang berasal dari Kalimantan Selatan pada
tahun 2012. Madihin ini adalah suguhan pentas monolog yang dilakukan oleh satu atau dua
orang dengan merangkai syair yang diiringi dengan musik gendang khas Banjar. Biasanya
kesenian Madihin menuturkan sindiran-sindiran, pesan moral, atau kosa kata yang lucu dan
menggelitik. Kata-kata dalam madihin muncul secara spontan hingga membuat keseniaan ini
menjadi komunikasi penyair dan penonton.

Walaupun keseniaan ini selalu diangkat dan dilestarikan oleh budayawan dan sastrawan lewat
acara-acara penting di Kalimantan Selatan, tetapi keseniaan ini memiliki satu kendala, yakni
ada potensi akan punah karena tidak ada penerus penyairnya. Mengapa saya mengatakan
demikian? Hal ini karena generasi muda sudah terkontaminasi dengan perkembangan zaman
yang sangat canggih. Hal itu sedikit demi sedikit merubah pola pikir mereka, bahwa mereka
ingin hidup di masa depan sebagai seorong dokter, guru yang piawai teknologi, sarjana
komputer, pembisnis, dan lain sebagainya. 100:10 yang gigih menjadi budayawan untuk
meneruskan warisan leluhur terdahulu, kalaupun ingin melestarikan, hal ini hanya untuk
menjadi sampingan kehidupan mereka. Karena ini adalah suatu permasalahan, maka dari itu
pewarisan budaya ini tidak boleh pula dipegang kendali oleh orang-orang yang melunturkan
prinsip kehidupan hanya untuk mengungkap pendapat yang katanya kita hidup di negara
demokratis.

Perpecahan yang terjadi di Indonesia saat ini bukanlah tentang penjajahan dari pihak luar
secara terang-terangan, melainkan dijajah oleh masyarakat Indonesia sendiri. Peristiwa bom
bunuh diri yang beberapa kali membuat gempar masyarakat Indoensia menjadi bukti nyata
bahwa negara Indonesia memiliki minoritas masyarakat yang tidak baik-baik saja. Bahkan
menurut data Global Terrorism Database terdapat 638 insiden terorisme di Indonesia sejak
tahun 2000 hingga 2020. Laporan GTI 2022 juga menunjukkan bahwa Indonesia menempati
peringkat ke-24 negara yang paling terdampak terorisme. Tentu saja, ini merupakan hal yang
tidak bisa kita anggap sepele, tetapi kita juga tidak mungkin untuk pergi membawa pistol
memusnahkan kelompok minoritas tersebut, yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda
dan masyarakat biasa hanyalah menolak paham radikalisme dan mencegah terorisme dengan
cara sederhana tetapi bermakna. Maka kali ini, saya menulis opini saya untuk mencegah hal
tersebut melalui budaya daerah Kalsel, yakni madihin.

Seperti yang telah saya tuliskan di atas, bahwa madihin merupakan keseniaan yang lumayan
populer di kalangan budayawan Kalsel. Madihin banyak kita temui di acara-acara Kalsel,
karena itu, madihin tidak cukup hanya dilakukan oleh orang-orang yang bisa, tetapi juga
harus bijak dan bertanggung jawab. Karena keseniaan ini dilakonkan secata spontan dan
ditonton oleh banyak orang, maka tidak boleh di dalam syairnya mengandung singgungan
makna tersurat atau tersirat tentang terorisme atau paham radikalisme.

Aksi kekerasan selama ini disebabkan oleh kelompok orang yang mengatasnamakan agama
dengan menyalahartikan sejumlah pengertian kebaikan untuk dijadikan dalil melakukan
tindak kekerasan atas nama jihad. Maka hal itu, para penyair harus memberikan stimulus
yang positif terutama untuk para generasi muda yang menuai banyak dampak globalisasi.
Lalu bagaimana caranya? Dengan hal sederhana saja, seperti memperkenalkan ilmu
pengetahuan yang baik dan benar serta pesan moral yang positif di dalam syair madihin. Lalu
juga tidak menimbulkan kesenjangan sosial, artinya tidak melantunkan syair yang dapat
menyinggung kelompok minoritas tertentu. Hal kecil seperti ini jika dilakukan secara terus
menerus maka pasti akan menjadi dampak respon yang didapat oleh masyarakat. Jadi,
keseniaan madihin tidak hanya ajang untuk bersenang dan bergurau semata, tetapi juga
mengandung makna baik dan dalam untuk memajukan negara Indonesia agar menjadi negara
yang aman dan damai.

Virus Terorisme Bisa Menular Lewat Kebudayaan?

Ya! Virus terorisme dan paham radikalisme tidak mengenal usia, kondisi ekonomi, maupun
level pendidikan. Virus ini layaknya narkoba yang bisa menyerang siapa saja! Karena ini
merupakan masalah hati, maka sulit untuk mengendalikannya lewat logika. Virus ini bisa
menular lewat kebudayaan, dengan pola pikir yang mereka tancapkan, maka tidak menutup
kemungkinan dapat menularkan stimulus ke orang lain juga. Karena itu, pelaku pemeliha
kebudayaan adalah mereka yang bijak dan menyebar nilai-nilai pendidikan dan kesatuan serta
jauh dari ujaran-ujaran kebencian.

Lalu orang seperti apakah mereka? Tidak harus orang yang berpendidikan tinggi atau
memiliki jabatan tinggi. Tetapi mereka yang mampu bersosialisasi baik dengan orang lain
dan mampu memberikan stimulus positif ke orang lain. Mereka yang paham arti penting
persatuan dan kesatuan serta menjunjng tinggi nilai agama dan nilai pancasila.

 

Penulis Opini: Dinda Ayu Nurkamila

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *