Membangun Jejaring Perdamaian
Ciri hidup manusia itu berjejaring dan terhubung satu dengan yang lain. Yuval Noah Harari (2018) menyebut “jejaring” sebagai alasan utama Sapiens bisa berada di puncak rantai makanan dan bisa mengendalikan ribuan sampai jutaan individu lainnya dalam satu kepemimpinan. Kepiawaian berjejaring manusia menimbulkan kohesifitas, kekuatan, dan rasa solidaritas.
Pun demikian dengan perdamaian yang hanya bisa terwujud jika ada sistem jejaring. Sebab –seperti dikemukakan para ahli sosial –perdamaian itu adalah hasil dari interkoneksi antar individu masyarakat dalam komitmen rasa aman, sejahtera, tidak ada polarisasi, dan konflik yang tajam. Berjejaring menjadi kunci ketika berbicara tentang perdamaian.
Perdamaian tak akan terwujud jika tidak ada konektivitas antara individu di dunia maya. Merawat rasa aman, harmoni, rukun, dan guyub dari ujaran kebencian dan hoax hanya bisa terimplementasi manakala para netizen siap dan bersedia membangun satu sistem jejaring yang kuat.
Dalam konteks inilah, kerja-kerja ala buzzer, yang selalu memasarkan dan mendengungkan sesuatu patut dijadikan sebagai model dalam membangun jejaring. Para buzzer dengan massif dan terstruktur bisa membangun opini publik, bahkan bukan hanya membangun, melainkan bisa menggiring opini masyarakat.
Membangun jejaring perdamaian menjadi niscaya, sebab di luar sana, yakni orang yang menyebar kebencian, fitnah, dan hoax ternyata hidup dengan berjejaring juga. Adalah suatu yang masuk akal, ketika perdamaian yang tak berjejaring akan dikalahkan oleh kebencian yang berjejaring. Persis di sinilah berlaku kaidah, Kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir.
Keluar Kotak
Bagaimana agar kita bisa membangun jejaring? Di sini saya meminjam istilah Buya Ahmad Syafii Maarif, yakni kita harus keluar kotak. Kotak yang dimaksud di sini adalah mazhab, aliran ideologi, organisasi, preferensi politik, suku, agama dan segala macam bentuk primordialisme lainnya. Kita bisa membangun jejaring hanya ketika kita mampu melampaui kotak-kota yang mengikat kita.
Keluar kotak maksudnya bukan berarti melarang bermazhab, berorganisasi, atau abai terhadap suku dan agama umpamanya, bukan! Keluar kotak maksudnya adalah tidak bersifat fanatisme dan terlalu menggebu-gebu dalam kotak-kotak yang membatasi gerak kita. Selama ini kita sulit membangun kerja sama dalam mewujudkan perdamaian, karena setiap manusia sibuk dengan kotaknya masing-masing.
Si A sibuk dengan kotaknya, Si B hanya percaya kotaknya, si C menganggap kotak yang lain salah, si D berkeyakinan hanya kotaknya yang paling benar, begitu seterusnya. Akibatnya jejaring tidak terbangun, perdamaian tidak terwujud.
Banyaknya hoax, fitnah, pemelintiran, dan segala macam ujaran kebencian lainnya di dunia maya, sebab setiap netizen masih tak mau melampai kotaknya, bahkan semangat bermedsos sedari awal justru untuk melebarkan jurang perbedaan dan jarak eksklusifitas masing-masing.
Jejaring Perdamaian
Untuk itu kita tidak bisa lagi melakukan kerja-kerja individual dan hanya sibuk dalam kotak masing-masing. Kita harus berani berkerja-sama, saling berjejaring, dan melampaui kotak untuk membangun perdamaian.
Membangun perdamaian tentu harus diawali dari keterbukaan diri. Keterbukaan ini maksudnya mau mempelajari kotak orang lain dan membangun kerjasama dengannya. Sikap inklusifitas dalam bersosial media harus jadi pegangan bersama dalam mewujudkan perdamaian.
Indikator perdamaian, mana kala setiap individu sudah merasa ada rasa kedamaian dan kondisi atau iklim yang damai. Dengan kata lain, kedamaian (subjektif) dan damai (objektif) adalah prasyarat terjadinya perdamaian. Kedua syarat itu tidak terwujud manakala tak ada jejaring antar personal (inter-subjektif) di antara masyarakat.
Dengan demikian, keterbukaan dan kerjasama adalah kata kunci ketika kita mau membangun perdamaian. Dalam hal inilah, kerja ala buzzer perlu menjadi pertimbangan. Tentu yang diambil adalah sisi positif dari buzzer, bukan negatifnya. Lagi pula buzzer itu hanyalah instrumen (sarana) yang bisa difungsikan untuk tujuan (goal) yang positif.
Mengaktifkan Budaya Lokal
Dalam membangun perdamaian itu, netizen, influencer, public figure, buzzer, pasukan siber, entah apapun namanya perlu mengaktifkan budaya lokal, baik di dunia maya, terlebih-lebih di kehidupan sehari-hari.
Dalam konteks materi perdamaian, Kalimantan Selatan sangan kaya akan budaya, tradisi, dan kearifan lokal yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan dalam membangun jejaring perdamaian. Mulai dari bentuk bangunan, tarian, sistem kekerabatan, sampai kepada nasihat-nasihat, dan nilai-nilai religi yang tersebar luas di masyarakat. Banyak kearifan lokal yang bisa difungsikan sebagai daya tangkal virus radikalisme yang merusak tatanan keharmonisan.
Seni tuturan Madihin misalnya. Seni tutur ini berisi nasihat-nasihat penuh kebaikan dan kebijaksanaan. Petuah para leluhur untuk tetap harmoni, guyub, dan menjaga sistem kekeluargaan dan tatanan kehidupan bersama adalah modal yang sangat besar untuk mencegah radikalisme.
Seni tuturan yang penuh dengan pesan perdamaian dan menjauhi kekerasan dan permusuhan perlu diaktualisaskan di era sekarang. Generasi millennial harus disadarkan, bahwa Kalsel memiliki banyak ragam budaya yang masih cocok dengan laju gerak kemajuan jaman.
Hal yang sama bentuk bangunan, tarian, dan cerita-cerita legenda penuh makna, dan nilai-nilai religi yang selalu melekat dalam urat nadi masyarakat Kalsel harus dikontekstualisasikan dalam upaya pencegahan segala tindakan yang berpotensi melahirkan radikalisme dan terorisme.
Budaya kalsel sangat adaftif dan sangat fungsional sebagai wasilah dalam meminimalisir aksi terorisme. Mengacu pada laporan survie Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Selatan (2019), kearifan lokal Kalsel 56.67% mempengaruhi budi pekerti, 34,66% mempengaruhi kepribadian, dan 11, 67% mempengaruhi kesadaran diri.
Posisi strategis budaya dan kearifan lokal Kalsel ini adalah modal utama untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian penuh toleransi kepada masyarakat umum, terkhusus pada pada masyarakat Kalsel sendiri. Memfungsikan kearifan lokal adalah salah satu cara mengusir radikalisme dan terorisme di bumi Kalimantan Selatan.
Penulis : Hamka Husein Hasibuan
Editor: Hafizah Fikriah Waskan