Mamang Cilok
Setelah kejadian bencana hari itu, mang Aji memutuskan untuk merantau ke luar kota. Selain untuk melanjutkan hidup dengan lebih baik, mang Aji juga berharap bisa berdamai dan merelakan apa yang sudah terjadi pada dirinya. Dia berharap saat di tempat baru nanti, dia bisa membuka lembaran baru dengan cerita-cerita yang baru dan mungkin lebih baik dari sebelumnya.
Mang Aji memilih Kalimantan Selatan sebagai kota tujuan perantauannya karena dalam bayangan mang Aji, kota kalimantan adalah kota yang masih asri dengan hutan-hutan di sekelilingnya dan sebagian besar pekerjaan masyarkatnya bertani atau berkebun, ya tak beda jauh dengan kampungnya dan dia berencana akan menjadi petani seperti ayahnya dulu.
Tetapi kenyataan berkata lain, ketika sampai di salah satu kota bagian dari provinsi Kalimantan Selatan, yaitu kota Banjarbaru mamang Aji justru bingung harus kerja apa. Hingga takdir mempertemukan mang Aji dengan seorang pedagang cilok yang ternyata berasal dari Bandung, Jawa Barat. Dari pedagang tersebut, ide mang Aji untuk berjualan cilok datang begitu saja. Dia mulai belajar cara membuat cilok dan berupaya bangkit dari kehidupannya yang terpuruk dengan coba-coba berjualan cilok juga walaupun dengan modal seadanya waktu itu.
Tantangan tak pernah lelah menghampirinya, mulai dari sepi pelanggan, tidak punya modal untuk esok harinya, dan masalah lainnya. Tapi dengan bermodalkan tekad dan kerja keras, sedikit demi sedikit usahanya kini berkembang hingga mengantarkan mang Aji memiliki sebuah gerobak berwarna hijau dengan bertuliskan namanya yang beroperasi di sekitar SD.
“Mang ini buat mamang makan nanti siang.”
“Wah makasih banyak ya, Sar.”
“Makasihnya bukan sama Sari mang, tapi sama ibu karena dia yang masak dan menitipkannya ke Sari.”
“Ya sudah kalau begitu sampaikan ucapan terima kasih mamang tadi ke ibumu ya, Sar.”
“Wah yang dapat cuma mang Aji nih Sar,” ucap Cici dengan kesal.
“Tenang. Buat kamu dan teman-teman yang lain ada di kelas, ayo kita makan sama-sama,” ajak Sari.
Mang Aji begitu senang mendapatkan kotak berwarna merah itu. Kotak yang berisi nasi, sayur oseng-oseng buncis, hingga lauk telur dan ikan yang dimasak balado. Makanan terenak yang mang Aji makan selama ini. Karena semenjak merantau di kota Banjarbaru, makan dengan tempe dan tahu saja itu sudah makanan yang luar biasa. Karena biasanya mang Aji hanya makan dengan lauk cilok berkuah sambal kacang jika ciloknya banyak yang tersisa.
Sebenarnya yang membuat mang Aji senang bukan hanya rasa makanannya yang enak melainkan karena yang memberi makanan itu. Ketika tahu mendapatkan makanan itu dari ibunya Sari, dia merasa seperti memiliki seorang ibu dan setiap dia memakan makanan itu, serasa makan masakan ibunya dulu. Sederhana tapi enak luar biasa. Sejak bertemu dengan Sari, dan mendapatkan kiriman makanan dari ibunya, mang Aji percaya bahwa pertemuan mereka itu adalah jawaban dari doa orang tuanya untuk dirinya.
Berkat sikap pantang menyerahnya, dari berdagang cilok mang Aji mulai menata hidupnya kembali. Dari memiliki sebuah gerobak hingga mampu menyewa rumah kecil yang lebih baik dari sebelumnya. Kerja kerasnya yang setiap hari bangun jam 3 pagi untuk membuat cilok beserta sambal kacang kini berbuah manis. Harga untuk sebuah kesuksesan tidaklah murah. Banyak tenaga, keringat, dan air mata yang dikeluarkan.
Saat orang lain tengah asyik bermimpi, dirinya justru bangun dan bekerja keras untuk mewujudkan mimpinya. Setiap hari bergumul dengan tepung dan kacang tanah. Setelah selesai, dirinya melanjutkan perjuangan berikutnya, yaitu memasarkan dagangan ciloknya dari satu SD ke SD lainnya, dari satu orang ke orang lainnya, begitu seterusnya dan setiap harinya. Mang Aji tidak peduli dengan apapun, baginya yang penting adalah pergi pagi untuk mengais rezeki tak peduli dengan pemimpin yang berganti silih berganti, perkataan orang lain, gosip-gosip artis terhits saat ini. Toh orang-orang itu juga tak akan peduli jika dirinya mati.
Hadirnya mang Aji dalam kehidupan Sari, memberikan begitu banyak pelajaran tentang kehidupan. Tentang kehidupan yang begitu mudahnya menjatuhkan dan membenturkan dirinya mulai dari kehilangan harta (rumah) hingga kehilangan pegangan hidupnya (orang tua). Saat itu yang dimiliki mang Aji untuk bisa bertahan dalam menjalani hidupnya hanyalah harapan. Dari harapan yang dimilikinya, mang Aji belajar untuk percaya pada kekuatan dan rencana Tuhan yang terbaik untuk dirinya. Tugasnya hanyalah berusaha semampu yang dia bisa, soal hasil dia pasrahkan semuanya pada Tuhan.
Keyakinannya pada Tuhan, membuatnya belajar memaafkan diri sendiri dan berdamai dengan masa lalu. Memaafkan dan berdamai bukan berarti melupakan melainkan merelakan. Merelakan apa yang sudah terjadi dan belajar untuk memahami bahwa tidak semua yang hilang bisa kita temukan kembali, tidak semua yang patah bisa tumbuh kembali, tidak semua luka bisa disembuhkan lagi, dan tidak semua yang pergi bisa kembali lagi.
Apa yang sudah dilalui mang Aji secara tidak langsung membentuk mental yang kuat pada dirinya. Mental yang siap menerima apapun dari kehidupan yang bersifat sementara ini. Karena hanya orang-orang yang memiliki mental kuat dan tegar, yang bisa bertahan hidup di dunia yang keras ini. Kerasnya hidup membuatnya selalu teguh memegang prinsip hidupnya, yaitu “Kita boleh saja kehilangan arah, tapi jangan sampai berhenti melangkah.”
(ZULFIA/DEL)