free page hit counter

Kasih di Dunia Maya

“Katanya semua akan baik-baik saja ketika lidah tak bertulang mulai berkata-katanya. Nayatnya saat ini bukan lagi tentang aku dan kamu menjadi kita, namun sekarang ada yang namanya orang ketika berupa Dunia Maya.”

Sebuah kata bijak yang terhembus melalui angina dan terdengar oleh runguku yang tak seberapa tajam. Namun seolah menarik atensiku untuk menuju keindahan  kalimat bijak yang akan keluar berikutnya. Sungguh, aku ingin kembali ketika melihat jam tangan dipergelangan yang menunjukkan pukul 4 sore, namun lagi-lagi otak dan gerak badanku yang tidak sejalan. Langkah kaki yang menggiringku menuju suara yang samar diperjelas oleh runguku.

“Katanya orang bijak itu adalah mereka yang diam,” ucapnya lagi membuat lidahku gatal untuk menyambung kalimat tersebut.

“Ya, nyatanya orang pendiam itu mampu berperang dengan keji didunia maya,” sambungku.

“Ya, kau benar. Terkadang orang pendiam didunia nyata mampu menggemparkan dunia maya, bahkan akan menjadi cara tak kasat mata untuk membunuh masa depan orang lain.” Jawabnya tanpa melihat kearahku.

“Mengapa bisa begitu?” tanyaku penasaran.

“Bukankah kau juga mengetahui berita hangat hari ini dimana terdapat korban cyber bully yang mengakhiri hidupnya?” tanyanya kembali tanpa menjawab pertanyaanku.

“Ah, benarkah?” tanyaku seolah aku masih belum mengetahui berita tersebut.

“Hei, kau jangan seolah tidak mengetahui hal ini jika kau juga tanpa disadari merupakan pelaku secara tidak langsung.” Jawabnya halus namun cukup menohok ulu hatiku.

“Mengapa kau berkata begitu?” tanyaku kembali.

Beberapa saat berlalu ia diam dan aku pun masih menunggu jawabannya. Ia seolah tidak memperdulikan pertanyaanku mengenai mengapa ia berkata seperti itu, bukankah itu terlalu tajam untuk menyinggung seseorang.

Aku kesal karena beberapa menit berlalu pun ia masih saja terdiam seolah menikmati hembusan angina sore diujung jembatan ini, ataukah ia menikmati suara air yang mengalir dibawah sana. Entahlah, aku tidak mengerti mengapa ia masih saja terdiam.

“Mengapa?” aku beranikan diri lagi utnuk bertanya kepadanya kemudian beralih menatap matanya yang kini terpejam.

“Hei, mengapa kau masih tak menjawab pertanyaanku?” aku mulai kesal. Seharusnya aku tidak mengikuti langkah penasaranku dan tetap kembali kerumah.

Ia berbalik dan berjalan menjauhiku, kemudian berbalik dan berkata,” bukankah satu tanda suka terhadap kaliamat mengejek orang lain berarti kita menyetujui pernyataan tersebut dan ikut mengejek juga?” tanyanya padaku dan kembali berjalan.

Aku terdiam mendengar pertanyaan, oh tidak. Apakah itu pernyataan yang secara tidak langsung mengomentari sikapku dalam bersosial media? Aku kembali berjalan dan mengingat apa saja yang aku lakukan dengan social mediaku.

Scroll

History

AND GOTCHA

Kini aku mengerti mengapa ia berkata seperti itu, memang benar aku bukan pelaku utama dalam cyber bullying, tapi ketika aku menyukai postingan atau kalimat lain yang memberikan arti mengejek, secara tidak langsung aku juga ikut serta dalam melakukan tindakan tersebut. Hahh. Setelah sekian lama aku melakukan ini, aku baru saja sadar bahwa ternyata tindakan tidak langsungku mampu membawa petaka bagi orang lain. (Zu/AJP)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *