free page hit counter

KALADAN (KEMANA LANGKAHKU, ADA NAMAMU) Part 4

Mereka terus melangkah bersama sambil memandang luas panorama sekeliling. Panorama barisan pohon pinus yang terlihat begitu hijau dan menarik. Menurut penelitian, dengan berjalan-jalan di hutan pinus, dapat menghilangkan rasa stres yang begitu banyak. Mungkin itulah salah satu alasan keluarga Sari melakukan pendakian ini.

Bukan hanya panorama yang indah, pendengaran mereka pun juga dimanjakan oleh siulan burung-burung yang menyatu dengan atmosfer sejuk. Tidak banyak hewan yang mereka temui. Hanya seekor monyet yang melompat-lompat dengan bahagianya karena masih ada yang mengunjunginya. Monyet itu ternyata bukan hewan asli sana melainkan peliharaan. Maklum bukit Matang Kaladan bukanlah hutan hujan tropis yang banyak dipenuhi hewan, lumut dan akar-akar pohon besar yang belum terjamah manusia melainkan hutan wisata yang memiliki keindahan alam sendiri dengan corak khasnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata dan kebudayaan.

Perjalanan terus berlanjut, hingga sesuatu terjadi pada bu Gisa. Di pertengahan jalur trek, ibu Gisa tiba-tiba terjatuh karena kakinya tersangkut akar tanaman berduri. Kaki bu Gisa keseleo dan sedikit berdarah. Perjalanan pun terpaksa ditunda. Awalnya, pak Andri ingin menghentikan pendakian itu, namun wajah Sari yang tampak muram seolah-olah melarangnya membuat pak Andri mengurungkan niatnya. Pak Andri juga mulai berpikir untuk naik ojek saja menuju puncak tetapi lagi-lagi dengan tegas Sari menolak keinginan ayahnya itu.

Pak Andri akhirnya memutuskan untuk berhenti sejenak hingga kondisi kaki bu Gisa membaik. Kebetulan di sana ada warung sebagai tempat persinggahan para pendaki yang perlu minuman dan makanan. Mereka pun akhirnya beristirahat di warung itu. Warung itu buka selama 24 jam karena penjualnya merupakan warga sekitar dan warung itu juga sebagai rumahnya. Penjual di warung itu selain ahli dalam menawarkan jualannya, ternyata juga bisa memijat kaki bu Gisa hingga sembuh keseleonya.

Pertolongan datang diwaktu yang tepat. Hampir 30 menit mereka berhenti dari pendakian. Pak Andri masih khawatir dengan keadaan bu Gisa, namun bu Gisa mencoba menguatkan diri karena tidak tega melihat wajah kecewa putri semata wayangnya. Itulah naluri seorang ibu. Dengan tegas ibu berkata, “Ayo kita lanjutkan pendakian ini hingga puncak surgawi”. Seulas senyum pun terpancar dari rona wajah Sari yang semenjak tadi kian murung.

Kejadian itu tentu memberikan Sari pelajaran bahwa dalam pendakian bersama harus bisa mengatur ego dalam diri. Tidak mungkin mengikuti ego masing-masing, misalkan ingin cepat sampai puncak jadi jalannya harus cepat atau ego ingin foto-foto terus agar tidak terlewatkan momen-momen berharga. Janganlah lakukan itu! Belajarlah untuk meredam rasa ego itu, kalau memang capek atau teman mendaki kita sudah tidak sanggup berjalan, tidak mengapa jika berhenti dulu sejenak, egonya janganlah puncak melulu. Karena puncak tidak akan pernah lari, dia akan tetap di sana menunggu para pendaki mencapainya. Jadi, dalam perjalanan pendakian kita diajarkan untuk sabar dan peduli dengan orang lain atau tidak bersikap egois.

Mereka pun meneruskan perjalanan lagi. Mereka terus melangkah dengan pasti meski sedikit rasa sakit dan perih masih dirasakan bu Gisa dikakinya. Tetapi sajian alam akan keindahannya ditambah dengan hembusan angin sepoi-sepoi membuat mereka semakin ingin cepat berada pada puncaknya. Perjalanan ini bukanlah tentang bagaimana menaklukkan bukit Matang Kaladan tetapi perjalanan ini adalah tentang bagaimana mengambil setiap pelajaran kehidupan dari berbagai peristiwa yang dilalui.

Namun, perjalanan mereka tiba-tiba menjadi sedikit terganggu. Bukan karena kondisi bu Gisa, melainkan perilaku beberapa pendaki lain yang membuang sampah makanan atau minumannya sembarangan, mengganggu hewan di sana, bahkan ada yang dengan sengaja memetik bunga mekar yang indah. Sikap mereka itu sungguh disayangkan, perjalanan yang seharusnya menjadi perjalanan yang menyatukan manusia dengan alam justru menjadi perjalanan yang merusak lingkungan.

Ternyata seorang pendaki tidak menjamin dia adalah seorang pencinta alam. Para pendaki seharusnya selalu mencoba beramah tamah dengan lingkungan, orang sekitar, bahkan dengan flora dan fauna di sana. Jika ada warga atau pendaki lain usahakan selalu melakukan budaya tegur, sapa, senyum. Saat berhenti untuk istirahat makan ataupun minum, sampahnya jangan ditinggalkan atau dibuang sembarangan tetapi katongilah. Jika ada hewan di sana, janganlah diganggu atau diusir dengan kasar dan jika ada bunga yang indah atau tanaman yang bagus tidak usah dipetik dengan tujuan untuk dibawa dan disimpan di rumah, cukup perhatikan dan foto sebagai kenangan. Karena untuk apa kita memetik bunga di sana toh saat sampai rumah bunga itu juga akan layu dan ujung-ujungnya akan dibuang juga. Lebih baik biarkan saja bunga itu memancarkan keindahannya dari aromanya yang khas.

Selain itu, jangan lupa untuk permisi dengan alam, karena jika kita ramah maka alam pun juga akan ramah. Ketika makan ataupun minum usahakan untuk berbagi dengan para pendaki atau warga sekitar yang kebetulan melihat agar terasa kebersamaannya. Hilangkan kebiasaan buruk para pendaki kebanyakan, yaitu buang air kecil di semak-semak pohon, selain kurang sopan juga berdampak pada kebersihan diri kita sendiri. Carilah tempat yang memang diperuntukkan untuk kegiatan itu. Pikiran saat mendaki juga jangan dibiasakan melamun atau kosong tapi berinteraksilah baik melalui obrolan santai dengan sesama pendaki ataupun dengan bernyanyi gembira. Karena tujuan mendaki bukan mengosongkan pikiran tapi menyegarkan pikiran, jadi isilah pikiran kalian dengan hal-hal positif dan menyenangkan. Jika kita berjalan sambil melamun, takutnya kita tidak sampai-sampai puncak. Ciptakan suasana gembira saat melalui trek agar perjalanan itu tidak terlalu terasa melelahkan.

 

Waktu terus berlalu, jengkal demi jengkal telah mereka lalui hingga tepat pukul 17.30 WITA mereka berada tepat di puncak bukit Matang Kaladan. Mereka sampai di sana lebih lama dari waktu rata-rata pendaki biasanya. Hal tersebut wajar saja karena mereka mengalami kecelakaan kecil saat mendaki yang membuat mereka harus menunda perjalanan mereka dengan waktu yang cukup lama.

Ketika berada di puncak, rasa lelah dan tetesan keringat terbayarkan sudah dengan pesona khas bukit Matang Kaladan. Semuanya pasti akan terkesima. Bukit yang berada di tengah-tengah bukit barisan ini sungguh indah dan memukau, sekilas menyerupai gugusan di Raja Ampat. Dari puncak bukit terlihat panorama barisan hijau dengan pemandangan pulau-pulau kecil dan juga pemandangan Waduk Riam Kanan yang semakin terlihat kecil dari atas. Waduk Riam Kanan membendung delapan sungai dari pegunungan Meratus dan sangat vital karena menjadi sumber energi untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di wilayah Banjarmasin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *