Hashtag dan Jihadis Kedamaian di Media Sosial
Beberapa diantara kita mungkin pernah mendengar lema “Cyber army” yang tidak jarang dilekatkan kata “muslim” di depannya. Saat saya membaca lema tersebut maka yang pertama kali terlintas di kepala adalah perang opini di dunia maya. Sekilas, asumsi ini secara logis bisa diterima kebanyakan orang dikarenakan media sosial dianggap sebagai lahan perang opini dan pemenangnya ditentukan dengan siapapun yang paling “nyaring” (baca: viral) opininya. Asumsi saya tersebut mungkin mengerdilkan dari peran dari gerakan di wilayah perang digital.
Dalam persoalan “Perang Digital” yang tidak jarang disederhanakan menjadi perang opini di media sosial, padahal pada proposisi awalnya dimaknai sebagai perang teknologi digital internet lebih luas. Seperti, perang digital di Indonesia termasuk yang sering diasumsikan dan dikerucutkan pada pertarungan opini di media sosial. Karena jumlah pengguna aktif interet yang sangat banyak dan media sosial dianggap bisa mempengaruhi opini publik secara menyeluruh.
Kondisi ini disebabkan pertarungan politik pilpres yang menjadikan media sosial menjadi lahan untuk meraup persepsi pemilih untuk kemudian menaikkan elektabilitas calon, karena tren pemakaian layanan jejaring sosial sebagai komunikasi dalam masyarakat Indonesia semakin massif, sehingga mudah menjadi alat menjangkau opini publik tanpa harus dibatasi jarak dan waktu.
Beberapa tahun terakhir, media sosial mulai menjadi pelantang suara non-elit dari politik, sosial hingga agama. Sejak dulu suara non-elit memang selalu memiliki media kreatif untuk mewadahi dan membunyikan aspirasinya sendiri, bahkan di saat media massa tidak bisa menyuarakan sisi non-elit karena dikuasai oleh pemodal yang berkoalisi dengan elit penguasa yang korup, dan sekarang disediakan oleh media sosial.
Hashtag (tanda pagar) adalah alat paling sering digunakan di media sosial dalam merebutkan opini dan kesadaran warganet. Dunia politik kita pernah diramaikan perang tagar ini beberapa bulan yang lalu, kala tagar #2019gantipresiden dan #diasibukkerja bergantian merajai tangga trending topic dunia di beberapa media sosial kita. Bahkan, tagar tersebut menarik perhatian hingga menjadi gerakan di masyarakat, bahkan ada yang memanfaatkan sebagai peluang ekonomi dengan berjualan kaos, pin hingga gelang karet tangan.
Di ranah sosial, sayup-sayup terdengar beberapa tagar yang menyuarakan masyarakat yang sedang melawan penindasan koorporasi pertambangan, perkebunan dan lain-lain. Namun, gerakan sosial tersebut tidak pernah bertahan lama di perbincangan media sosial sebagaimana isu-isu politik, namun kondisi tersebut tidak menyurutkan seluruh penggiat gerakan sosial untuk juga memanfaatkan media sosial untuk memperbesar gerakan.
Mungkin tidak luntur dalam ingatan kita semua, bagaimana tagar #prayforNewZealand juga sempat merajai trending topic dunia saat penembakan brutal di dua masjid di Selandia Baru terjadi beberapa bulan yang lalu. Memang tagar simpatik seperti ini tidak akan bertahan lama dan menjadi gerakan sosial hanya sebentar, sepanjang isu tersebut masih menjadi konsumsi media dan ramai diperbincangkan maka selama itu juga tagar tersebut bertahan.
Transformasi tagar hingga menjadi gerakan sosial memang tidak semudah mengklik tombol shift dan angka 3 secara bersamaan di keyboard laptop atau komputer untuk memunculkan tagar di layar, tapi banyak hal yang berperan untuk sampai menjadi gerakan sosial. Memang fungsi tagar sejak awal kemunculannya di media sosial hanya sebagai technosocial events, yang bisa digunakan berbagai latar belakang dari pribadi hingga perusahaan.
Arkian, secara umum tagar adalah sekumpulan argumen dalam bingkai ekologi media yang disatukan dalam sebuah tagar, di mana semua orang bisa masuk dalam kelompok ini dengan berbagai latar belakang. Berbagai argumen yang dikumpulkan tersebut dengan berbagai model, kekurangan dan kelebihan masing-masing yang kemudian dipertajam melalui keunikan dan usaha mandiri dari berbagai akun untuk mempromosikannya.
Tagar memiliki kegunaan yang unik, di mana satu saat dia bisa menjadi bagian pribadi dari pemilik akun tersebut, yang di saat bersamaan menjadi pelantang suara karena dianggap suara dari kelompok besar namun bisa diambil (atau diklaim) kembali menjadi bagian dari satu kelompok spesifik. Dalam keunikan ini tagar diasumsikan bisa menjadi sebuah gerakan sosial yang besar.
Saat kelompok pengajur kekerasan bisa menggunakan teknologi tagar dalam mempengaruhi opini publik dengan sangat mudah, sudah menjadi kewajiban bagi pejuang perdamaian untuk turut terjun di wilayah ini dan salah satu cara yang bisa ditempuh adalah menjadi Jihadis Media Sosial. Tugas Jihadis tersebut selain berjuang di medan perang digital juga menularkan semangat perjuangan kepada siapapun yang ditemuinya, berbeda dengan lema “Army” yang lebih merujuk pada pasukan yang taat pada pimpinannya, jihadis lebih memiliki kemerdekaan dalam perjuangannya.
Seorang jihadis media sosial harus memiliki keterampilan manajemen konten, termasuk gerakan tagar, yang bisa diandalkan dalam perang digital. Yakni, perang yang bisa menggilas siapa saja yang gagal dengan sangat mudah. Selain itu, mereka juga harus memiliki jejaring di dunia nyata yang baik untuk mempromosikan aksi digital menjadi aksi yang nyata. Sebab tanpa jaringan di dunia nyata, gerakan tagar akan sangat mudah dilupakan dan hilang dalam peredaran. Akan tetapi, keseluruhan aksi baik digital dan nyata harus di bawah nilai kemanusiaan dan kebangsaan.
Sekarang, kita harus menjadi jihadis yang merebut keributan di media sosial yang dipenuhi kabar bohong, ujaran kebencian dan politik SARA, digantikan dengan kabar perdamaian, persahabatan dan perlawanan pada SARA dan perundungan. Salam Damai.
Supriansyah (tulisan ini juga ada di
https://jalandamai.org/hashtag-dan-jihadis-kedamaian-di-media-sosial.html )