free page hit counter

Ramadan, Rekonsiliasi dan Pusaran Kebencian di Media Sosial

(Ilustrasi gambar diambil dari jalandamai.org)

Belum luntur ingatan kita di setiap Ramadan di awal tahun 2000an, iklan yang memakai tagline “intinya pengendalian diri”. Tagline tersebut begitu melekat pada kita semua, hingga hampir seluruh ceramah anak dan remaja selalu mencantumkan adagium ini jika mengikuti lomba ceramah atau sedang memberikan ceramah singkat seperti pertemuan siswa, berupa kultum (kuliah tujuh menit).

Jika ada yang melontarkan pertanyaan kepada kita, mengapa pengendalian diri begitu penting di bulan suci ini? Banyak teori dari pendakwah jelas memberikan jawaban yang bisa memuaskan bagi kita semua, tapi jika dihubungkan kondisi sekarang yang masyarakat tidak hanya hidup di dunia nyata, tapi juga di dunia maya (internet), maka jawaban atau teori dari penceramah atau dai tersebut bisa dipertanyakan. Di mana struktur sosial di layanan jejaring sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter berbeda dengan struktur kehidupan nyata, pengendalian diri di bulan Ramadan belum tentu bisa dilakukan dengan mudah.

Kalau kita mau jujur melihat di layanan jejaring sosial sendiri dengan sangat mudah menemukan ujaran kebencian, kabar bohong, hingga ajakan untuk melakukan kekerasan kepada yang liyan. Mengapa di media sosial mudah sekali mempengaruhi seseorang untuk melakukan perilaku jahat seperti ajakan kekerasan kepada yang liyan? Beberapa teman saya pernah menjawab pertanyaan ini dengan menegaskan bahwa tidak ada atau minimnya pertemuan fisik membuat orang mudah sekali menghujat, menghina, bahkan merundung orang lain.

Dalam amatan saya, jawaban di atas belum memberikan penjelasan tentang kondisi yang dihadapi masyarakat sehingga sangat mudah tersulut emosi saat beririsan dengan isu sensitif atau emosional, padahal belum tentu dipahami tuntas, baik secara konteks hingga sosio-kultural yang memicu rumor yang diterima di media sosial.

Warganet menghadapi apa yang disebut dengan “pusaran kebencian” di linimasa media sosial mereka setiap hari. Menurut saya, kondisi ini yang paling dominan mengaduk emosi masyarakat hingga mudah terprovokasi melakukan hal-hal jahat pada orang lain. Dalam kajian internet, ada tiga kondisi utama yang mendorong warganet mudah terseret pusaran kebencian. Pertama, di dunia maya secara bersama-sama antara korban dan masyarakat luas didefenisikan dalam satu kelompok besar. Di mana, saat satu anggota disakiti maka anggota yang lain juga merasakan rasa sakit tersebut.

Kedua, kolektivitas kelompok. Di mana satu perilaku dari anggota kelompok dianggap sebagai representasi atau tanggung jawab penuh kelompok, bahkan perilaku jahat seperti perundungan atau cacian. Ketiga, warisan potensi kebencian. Setiap anggota dalam kelompok besar membawa kebencian masing-masing pada sesuatu di luar kelompok tersebut, kemudian kebencian tersebut diadopsi sebagai kebencian kolektif kelompok yang dilepaskan dari konteks awal sebagai kebencian pribadi.

Dari tiga kondisi di atas, pengguna media sosial sangat rentan terjebak pada pusaran kebencian, ditambah yang diseret sebagai pengikat kelompok adalah sisi dalam Islam. Linimasa berbagai media sosial, tidak pernah sepi hal-hal yang menyulut atau mengaduk-aduk emosi umat Islam.

Mungkin kita tidak lupa kasus Ahok tahun 2017 yang lalu, saat kasus tersebut sedang ramai diperbincangkan di berbagai media berbagai isu menyertainya dari isu 10 juta tenaga asing dari Tiongkok, 9 naga bergerilya merebut kekuasaan dari Ibukota, hingga agenda Komunis yang ingin menguasai NKRI. Masih banyak isu yang beririsan dengan saudara-saudara kita dari etnis Tionghoa, yang sangat rentan mengancam rasa nasionalisme kita yang sudah lama terbangun dengan mereka sebagai bagian tak terlepas di dalamnya.

Dari kasus Ahok di atas, kita harus belajar untuk selektif dalam mengkonsumsi sebuah isu yang dilempar di media sosial walau isu tersebut sangat rentan dengan kelompok atau agama kita. Sebagaimana dijelaskan di atas, kebencian sebagian masyarakat kepada oknum Tionghoa tidak harus melegitimasi kebencian massif kepada etnis tersebut.

Di bulan Ramadan nan suci ini, sudah seharusnya menjadi awal yang bagus menghentikan langkah dan kembali memantapkan hati untuk berjuang pada kedamaian. Rekonsiliasi akan sia-sia dikoarkan sebagai solusi dari segregasi di masyarakat sekarang akibat berbeda pilihan politik, jika pengendalian diri saat mengkonsumsi isu di media sosial tidak pernah dilakukan. Media sosial harus digunakan secara aktif untuk menyerang segala isu yang bisa mengiring masyarakat pada pusaran kebencian.

oleh : Supriansyah (Tulisan ini juga dimuat di jalandamai.org
https://jalandamai.org/ramadan-rekonsiliasi-dan-pusaran-kebencian-di-media-sosial.html )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *