free page hit counter

Gender Bukan Tolok Ukur Keberhasilan

“Akhirnya aku pakai seragam biru putih juga. Selamat datang di dunia remajaku. Dan hari ini, adalah hari pertama aku MOS (Masa Orientasi Siswa). Semoga hariku berjalan dengan baik. Aamiin.” Ucap Sari di depan cermin sambal berputar dengan seragam barunya.

“Sari… cepat sarapan dulu sudah ibu siapkan. Jangan lupa perlengkapan MOSnya nak.”

“Iya bu.”

***

Sari Wardhani, namanya. Seorang siswa yang baru saja duduk di kelas VII SMPN 2 Banjarbaru setelah menamatkan pendidikan sekolah dasar di SDN 2 Guntung Payung. Dia tidak hanya cantik, pintar, mandiri, melainkan dia juga adalah sosok yang begitu mencintai alam. Alam dengan dirinya sangat menyatu dan sepertinya sulit dipisahkan.

Hari ini Sari begitu senang, dia bersama ibunya berada di atas panggung sebagai peringkat ketiga kelulusan sekolah dasar. Atas prestasinya ini namanya dipanggil untuk berdiri di atas panggung bersama ibunya untuk menerima piagam dan sekaligus hadiah. Teriakan teman-temannya yang menyebut namanya terdengar seantero sekolah karena diantara ketiga siswa yang berprestasi, dia perempuan satu-satunya.

“Sari, sari, sari…………………………..Sari hebat, Sari juara, ayo teman-teman lebih keras!” Ajak Cici teman akrab Sari.

Meskipun semua teman-teman dan orang terdekatnya bangga akan prestasinya namun terlihat ada sedikit guratan kecewa dan sedih diujung pelupuk mata Sari karena ayahnya tidak bisa hadir di sana menemaninya bersama sang ibu untuk menyaksikan dan merayakan keberhasilan tersebut. Ayah Sari tidak bisa hadir karena bekerja.

“Alhamdulillah aku bisa membanggakan ayah dan ibu. Walaupun ayah tidak bisa hadir, tapi aku yakin doa ayah ada di sini.” Bisik Sari dalam hati.

Walaupun begitu, Sari tetap memoles wajahnya dengan segaris senyum manisnya karena dia tidak ingin mengecewakan orang-orang yang sudah mendukungnya dalam meraih keberhasilan tersebut. Selain itu, keberhasilan Sari ini membuktikan bahwa perempuan juga memiliki hak untuk mengenyam pendidikan dan bisa memeroleh prestasi dan keberhasilan yang tidak kalah dari laki-laki.

“Selamat ya Sari, ibu guru bangga sama kamu, semoga di jenjang berikutnya kamu bisa lebih berkembang lagi dan nilai-nilai kamu yang bagus dapat kamu pertahankan.” Ucap bu Fia dengan bangga.

“Iya bu terima kasih juga atas didikan dan bimbingan ibu selama ini buat Sari dan teman-teman.”Balas Ibu Gisa.

“Bu Gisa selamat ya atas kesuksesan anaknya semoga dijenjang berikutnya, Sari bisa meraih kesuksesan yang lebih lagi ya bu.”

“Aamiin. Terima kasih banyak bu atas bimbingannya selama ini. Mohon maaf atas segala perilaku yang kurang baik dari Sari ya bu selama ibu menjadi wali kelasnya. Dan ini kue untuk ibu dan guru-guru yang lain, maaf cuman bisa memberikan ini buat ibu dan bapak guru semua.”

“Oalah bu repot-repot terima kasih banyak. Sari merupakan siswa yang berprestasi bu dan sikapnya juga baik. Dan saya yakin guru yang lain juga berpendapat seperti itu.”

Percakapan hari itu berakhir dan semoga saja bukan menjadi yang terakhir karena bu Fia merupakan salah satu guru terbaik untuk Sari. Apakah karena beliau perempuan? Tentu tidak. Beliau merupakan guru dengan segudang ilmu pengetahuan dan dianugerahi pula kemampuan penyampaian materi yang luar biasa oke. Dengan beliau, sesulit apapun materi pembelajarannya, akan terasa mudah ketika beliau yang menjelaskan.

Bapak Aji juga guru favorit Sari, kemampuan menggambar beliau membuat siswa tak sedetik pun luput pandangannya dari papan tulis. Saat pelajaran beliau, melihat papan tulis serasa menyaksikan pameran lukisan klasik. Sungguh luar biasa bakat yang Tuhan anugerahkan untuk beliau. Setiap orang sudah dianugerahi Tuhan dengan bakatnya masing-masing baik itu laki-laki maupun perempuan tanpa adanya perbedaan.

***

Isu gender memang sudah mulai diakui kesetaraannya walaupun masih belum begitu terlihat. Bagi Sari gender tidak memengaruhi kecerdasan atau kemampuan seseorang. Karena sampai sekarang pun belum ada ditemukan penelitian yang menyatakan bahwa laki-laki lebih cerdas, kreatif, dan inovatif dibandingkan perempuan. Jadi, akan sangat keliru seseorang jika menilai kecerdasan dan kemampuan hanya dari gender atau jenis kelamin. Karena seperti yang kita ketahui yang membedakan kodrat perempuan dengan laki-laki hanya tiga, yaitu mengandung (hamil), melahirkan, dan menyusui. Sisanya semuanya bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan.

Ya berbicara seperti di atas memang hal yang mudah akan tetapi budaya patriarki yang dianut masyarakat Indonesia membuat posisi perempuan selalu di bawah laki-laki. Sebuah budaya yang menganggap laki-laki selalu sebagai centre atau pusat yang memiliki kemampuan dalam memimpin bukan perempuan. Perempuan hanya dianggap sebagai seseorang yang ketika sudah berumah tangga nanti akan berkecimpung dengan tiga pekerjaan, yaitu 3R (KASUR, DAPUR, SUMUR).

“Gisa kudengar putrimu sudah masuk SMP ya tahun ini?”

“Iya alhamdulillah Nis, nilai ujiannya juga bagus peringkat ketiga dari semua siswa di sekolahnya. Aku bangga sama dia, semoga saja kelak aku bisa mendampinginya hingga menjadi sarjana.”

“Aduh Gis, buat apa perempuan sekolah tinggi-tinggi, toh ujung-ujungnya juga nanti di rumah mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Buang-buang uang saja Gisa, lebih baik ketika dia lulus SMP nanti nikahkan saja dengan laki-laki yang mapan, hidup enak deh kamu,” ucap Nisa sahabat kecilnya.

“Iya Gis keinginan itu ga usahlah yang muluk-muluk, kalau laki-laki sekolah tinggi tidak masalah karena dia kelak bakal jadi pemimpin. Nah kalau perempuan buat apa? Nanti malah sulit dapat jodohnya,” sambung Devi.

“Anakmu memang pandai Gis, tapi sayang dia itu perempuan. Perempuan itu kalau terlalu pandai laki-laki minder mau deketin akhirnya susah deh dapat jodoh seperti kata Devi. Lagian kamu tidak belajar dari dirimu sendiri apa? Kamu kan juga menikah setelah lulus SMP, itu juga sudah ketuaan kan kebanyakan dari perempuan di kampung kita lulus SD sudah pada menikah, bukan begitu Dev, Nis?”

Kalimat-kalimat tersebut sering kali terdengar di masyarakat. Mungkin sekilas kalimat itu hanya gurauan atau sindiran bagi si pengucap padahal kalimat itu memiliki ribuan makna yang sangat krusial. Kalimat tersebut menyatakan bahwa perempuan sendiri tidak menghargai dirinya dan keberadaannya di masyarakat.

“Justru karena aku cuma lulusan SMP Rim, aku tahu bagaimana rasanya menjadi perempuan yang dangkal ilmu. Pekerjaan yang kulakukan semuanya melelahkan dan kehidupan yang ku alami cukup sulit. Andai aku berpendidikan tinggi, mungkin pekerjaan dan nasibku lebih baik. Dan aku tidak ingin Sari mengalami nasib yang sama seperti aku. Aku ingin dia sukses, memiliki pekerjaan dan nasib yang lebih baik daripada sekarang. Kalau soal jodoh, aku yakin Tuhan sudah menyiapkan yang terbaik untuk Sari tinggal tunggu waktunya saja.”

“Ya semoga saja harapanmu itu terkabul Gis,” ucap Rima dengan wajah datar.

Perempuan maupun laki-laki berhak atas pendidikan tidak ada pembatasan soal itu. Dan mengenai kehidupan selanjutnya, tidak ada hubungannya pendidikan dengan rumah tangga yang akan perempuan jalani. Karena pada dasarnya dalam sebuah keluarga perempuan lah yang utama dituntut untuk memiliki pengetahuan yang luas dibandingkan laki-laki. Mengapa demikian? Karena perempuan kelak menjadi madrasah pertama anak-anaknya yang akan mendidik dan menggoreskan tinta terbaik pada selembar kertas putih. Perempuan yang cerdas dan memiliki pengetahuan yang luas akan membawa keluarganya menjadi orang yang berhasil dan sukses.

Hal itu juga yang dirasakan Sari, meskipun ibunya bukan perempuan dengan pendidikan yang tinggi, melainkan ibu Sari yang bernama Gisa Ramadhani hanyalah seorang perempuan lulusan SMP. Akan tetapi caranya mendidik Sari luar biasa jika dibandingkan dengan perempuan lain dengan tingkat pendidikan yang sama. Ibu Gisa memang terlahir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Daerah dengan tingkat pernikahan dininya cukup tinggi. Anak perempuan usia remaja di daerah bu Gisa sangat jarang bisa melanjutkan pendidikan sampai jenjang universitas rata-rata akan menikah setelah lulus SD atau yang paling lama setelah lulus SMA.

Kalimantan merupakan pulau yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Salah satunya daerah Kalimantan Selatan yang memiliki kekayaan sumber daya alam berupa batu bara yang begitu melimpah. Akan tetapi, keuntungan dari sumber daya alam itu hanya dinikmati para pengusaha-pengusaha yang tak tersentuh masyarakat asli bak penjajah yang mengeruk habis kekayaan alam setempat tanpa memberikan keuntungan apa-apa untuk masyarakat. Masyarakat setempat miskin dan daerahnya pun rusak akibat pengerukan. Yang menikmati hasil alam hanya para elit penguasa saja. Masyarakat setempat hanya dipekerjakan untuk menghancurkan alam mereka sendiri sebagai cara untuk menutup mulut mereka.

Alam mereka dirusak dengan dikeruk batu baranya dan jika mereka menolak, mereka tidak memiliki pekerjaan. Sungguh seperti buah simalakama. Dari kecil ibu Gisa sudah terbiasa dengan kehidupan susah seperti itu, lahan ayahnya bu Gisa tiba-tiba raib diambil oleh para pengusaha atau cukong-cukong yang maruk akan harta. Ibu Gisa memang tidak bisa meraih mimpinya tapi dia berjanji tidak akan membiarkan hal yang sama terjadi pada putri kesayangannya, Sari.

***

“Gisa, kamu mau kemana nak?”

“Cari kerja bu.”

“Kerja apa nak? Terus nyari di mana? Lebih baik kamu bantu ibu masak.”

“Apa aja bu, bantu-bantu cuci piring di warung bu Putri atau bantu bu Nadia menjahit siapa tahu mereka perlu orang untuk membantu. Daripada Gisa di rumah saja bu. Ibu doakan Gisa dapat pekerjaan ya.”

Ibu Gisa berprinsip bahwa hidup susah hanya sebatas pada dirinya saja, anaknya harus lebih dari dirinya baik itu dalam hal pendidikan maupun kesuksesannya. Dari prinsip itu, ibu Gisa bertekad memperluas ilmu pengetahuannya dengan mengikuti kursus-kursus dan bekerja serabutan ke sana kemari guna memerluas ilmu pengetahuan dan menambah pengalaman hidup. Akhirnya perjuangannya berbuah manis, Sari putrinya tumbuh menjadi perempuan yang memiliki kemampuan lebih dari dirinya.

Ibu Gisa sangat berharap Sari bisa meneruskan pendidikan hingga ke universitas dan menjadi seorang sarjana. Dia tahu jika melihat pekerjaannya sebagai pengusaha catering dan penjahit serta ayahnya Sari yang bernama bapak Andri Wahyudi sebagai satpam di sebuah perusahaan alat berat mungkin akan sulit dalam hal biaya. Tapi ibu Gisa yakin ketika seorang hamba memiliki keinginan dan niat yang baik, Tuhan akan mewujudkan impiannya itu. Karena keberhasilan itu milik semua orang tidak ada batasan pangkat atau jabatan orang tua.

Kemampuan memasak dan menjahit bu Gisa diperoleh dari kursus dan bekerja dengan orang lain. Selain masakannya enak, bu Gisa juga menggunakan bahan-bahan yang bersih dan sehat. Dia tidak memakai MSG dalam masakannya melainkan kaldu jamur. Mahal memang tetapi prinsip hidup bu Gisa adalah berikan makanan yang terbaik untuk orang lain seperti kamu memasak untuk dirimu sendiri. Hal itu membuat cateringnya laris manis walaupun harganya sedikit lebih mahal dibandingkan catering lain. Karena para pelanggan tahu kualitas makanan bu Gisa yang bersih, sehat, dan tentunya enak.

Sedangkan usaha jahit bu Gisa juga cukup laris karena bu Gisa kemampuan menjahitnya cukup rapi dan mematok upah dengan harga yang relatif miring bahkan ada yang gratis. Ya bu Gisa tidak lupa bersedekah agar usahanya selalu berkah. Dia selalu menasihati Sari bahwa setiap rezeki yang diterima ada hak orang lain di dalamnya.

“Alhamdulillah yah, tabungan ibu dari hasil catering dan jahit sudah mulai terkumpul banyak. Semoga nanti bisa buat Sari kuliah ya yah.”

“Iya bu Aamiin. Nanti bisa gabungkan bu dengan tabungan ayah juga. O ya bu jangan lupa sisihkan untuk sedekah kita seperti biasanya.”

“Iya yah itu sudah pasti dan bulan ini sepertinya sedekah kita lebih banyak soalnya catering dan jahit ibu laris manis dan sekalian juga anggap ini sebagai rasa syukur kita atas keberhasilan Sari meraih nilai ujian terbaik ketiga di sekolahnya.”

Bersedekah itu tidak harus uang dan dalam jumlah yang banyak. Bahkan senyum manis saja kepada orang sudah termasuk sedekah. Kalau tidak bisa bersedekah dengan uang bisa dengan pemikiran, tenaga, makanan yang dimiliki, hasil kebun, dan lainnya. Apapun selama itu bisa bermanfaat untuk orang lain. Dan mengenai jumlah tidak harus banyak sesuai kemampuan saja.

Begitu banyak pelajaran kehidupan yang diajarkan ibu Gisa kepada Sari. Dari caranya mencari nafkah membantu ayah Sari menunjukkan bahwa perempuan itu harus memiliki keahlian dan kepandaian guna untuk membantu suami dan keluarga agar bisa tetap survive menghadapi berbagai tantangan kehidupan. Alasan bu Gisa bekerja keras untuk membantu mencari penghasilan adalah guna mewujudkan impiannya melihat putri kesayangannya memakai pakaian toga dengan dia beserta sang suami berdiri mendampingi sang anak dan dengan bangga bercerita pada semua orang bahwa anakku menjadi seorang sarjana.

“Yah, bulan ini jatah makan ayamnya ibu kurangin ya soalnya uangnya buat biaya seragam baru Sari dan keperluan lainnya”.

“Iya bu tidak apa-apa ayah yang penting keperluan Sari harus tetap terpenuhi. Tapi bu, memangnya uang yang ayah kasih tidak cukup bu?”

“Kalau ibu hitung-hitung pak tidak cukup kalau kita menu makannya seperti biasanya. Dan kalau pakai tabungan ibu juga takutnya untuk biaya hidup kita ga ketutup. Lebih baik kita hemat untuk bulan ini saja untuk selanjutnya semoga ada rezekinya lagi.”

“Terserah ibu sajalah, ayah ngikut.”

Ibu Gisa sangat teliti dalam perhitungan uang walaupun dia bukan lulusan akuntansi maupun ekonomi. Tapi pengalamannya bekerja sebagai kasir di sebuah toko bangunan membuat kemampuan berhitungnya luar biasa. Dia bersama suami bertekad akan memberikan pendidikan terbaik untuk puterinya agar nasib yang mereka alami tidak terulang kembali.

Nasib dengan tingkat pendidikan yang rendah hanya lulusan SMP (ibu Gisa) dan SMA (ayah Andri) hanya bisa bekerja sebagai satpam dan pekerjaan kasar lainnya. Mereka ingin kelak Sari bisa bekerja di sebuah kantor dengan AC yang super sejuk dan dihargai banyak orang karena ilmu dan pendidikannya.

Cukup ibu Gisa dan perempuan-perempuan di kampungnya saja yang memiliki nasib menikah muda dan tidak bisa menggapai mimpinya. Pemikiran bahwa ketika seorang perempuan dinikahkan itu merupakan way out atau jalan keluar atas masalah kehidupan si perempuan kelak itu merupakan pemikiran yang salah dan sangat keliru. Di kampung bu Gisa mungkin berpikir ketika anak perempuannya dinikahkan, maka tanggung jawab keluarga atas dirinya hilang. Padahal menikah bukanlah suatu jalan keluar melainkan memasuki fase hidup baru atau fase dimana seseorang akan menemui masalah-masalah baru yang mungkin akan lebih berat dari sebelumnya.

Jika si perempuan mempunyai kemampuan mungkin tidak masalah tapi ketika si perempuan tidak memiliki kemampuan apa-apa, hidupnya justru akan lebih terpuruk dalam menghadapi kehidupan rumah tangga sehingga akhirnya banyaknya generasi-generasi yang bahasa kasarnya sering disebut sampah karena hanya bisa menjadi beban kehidupan masyarakat. Mengapa bisa begitu? Karena perempuan yang tidak memiliki kemampuan apapun akan berpikir bahwa tugasnya dalam rumah tangga hanya melahirkan anak saja tanpa ada hal yang lainnya seperti perempuan juga memiliki hak mengembangkan diri bersosialisasi dengan teman-temannya, membantu suami dalam membangun keluarga, dan banyak lagi hal lainnya yang harus perempuan lakukan dalam kehidupan berumah tangga.

Permasalahan tersebut seperti mata rantai yang harus diputus jika kita ingin mendapatkan kehidupan yang layak dan lebih baik. Karena jika terus-menerus dibiarkan, generasi selanjutnya pemikirannya seperti itu lagi tidak terbuka akan perubahan dan ujung-ujungnya generasi muda kita adalah generasi muda yang lemah terutama kaum perempuannya.

Budaya patriarki memang agak sulit membangun kesetaraan gender agar lebih terlihat. Namun bukan berarti itu merupakan hal yang mustahil semuanya mungkin saja terjadi jika pemikiran masyarakat kita khususnya di Kalimantan Selatan terbuka (open minded) seperti ibu Gisa. Karena siapapun kamu, apapun jenis kelaminmu, semua orang berhak mendapatkan hak dan kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan. Pendidikan bukan hanya terbatas di sekolah melainkan pendidikan bisa di mana saja didapatkan. Ingat pesan Ki Hajar Dewantara bahwa setiap tempat itu sekolah dan setiap orang adalah guru. Jadi kita bisa belajar berbagai hal di dunia ini selama masih ada keinginan belajar dalam diri seseorang. Pendidikan memang tidak menjamin hidup kita pasti sukses tetapi pendidikan mempermudah jalan kita menuju kesuksesan itu sendiri. Dan yang perlu sama-sama kita yakini bahwa sampai kapanpun gender atau jenis kelamin tidak akan menjadi tolok ukur kesuksesan seseorang. Laki-laki maupun perempuan akan selalu memiliki kesempatan untuk berhasil meraih impiannya.

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *