Bukan Sendiri Berjuang
Satu tetes
Dua tetes
Tiga tetes
Dan berkali-kali menetes tanpa henti.
Apa yang menetes?
Air mata?
Darah? Atau apakah itu?
Rani masih berjalan menyusuri jalan setapak menuju sebuah gubuk tua tempat ia tinggal selama ini. Berjuang membangun sebuah tempat yang dihuni oleh banyak nyawa. Namun mana mungkin bisa jika ia hanya tinggal disebuah gubuk kecil.
“RANI!” teriak seseorang yang mengikuti langkahnya sejak tadi.
“Ada pa kau mengikuti langkahku hingga kesini? Apa kau akan tahu jalan pulang sedangkan hari mulai petang?” jawab Rani.
“ Jangan khawatir, aku selalu punya banyak akal untuk dapat kembali pulang.” Jawabnya dengan pongah.
“Ya sudah, lakukan apa yang ingin kau lakukan.” Jawab Rani santau dan kemudian berlalu.
“Apakah kau baik-baik saja?”Tanya orang yang tadi mengikuti Rina.
“Memangnya apa yang ingin kau sampaikan?” tanya Rina ketus.
“Tidak, ada. Aku hanya ingin berteman dan menanyakan kondisi temannya yang terlihat lelah. Apa kau akan selalu seperti itu denganku? Oh ayolah, kita itu teman sekelas selama beberapa semester ini, dan kita juga satu bimbingan. Tidakkah kau kasihan dengan aku yang selalu membuntutimu ….” Ocehnya tanpa henti membuat Rani jengah.
“Oke, silakan ikuti aku dan jangan berisik” Jawab Rina sembari terus berjalan.
Nih, ambil. Aku lihat hari ini kamu sangat lelah hingga keringatmu masih menetes hingga saat ini. Bukankah itu akan terlihat mengerikan ketika kau sampai dirumahmu namun kau terlihat tidak baik-baik saja….” Dan masih berlanjut.
Rani mengambil saputangan yang diberikan kemudian berlalu, seperti biasanya, mengabaikan orang yang selalu membuntutinya ini. 7 semester ia merasa dibuntuti oleh anak kecil ini hingga rasanya ingin ia kubur hidup-hidup.
Tak terasa, Rani telah sampai dirumahnya, dan orang yang mengikutinya tadi berada dibelakangnya dengan tersenyum jenaka.
“Baiklah, tugasku hari ini sudah selesai untuk mengikutimu, terima kasih atas pengalaman hari ini,” ucapnya kemudian berlalu pergi.
Rani hanya menggelengkan kepalanya saja. Aneh. Pikirnya.
Ketika ia sudah memasuki rumah, banyak anak-anak yang menyambutnya, wajah lelahnya tergantikan dengan senyum sumringah, menyambut setiap pelukan yang diberikan. Membuka tasnya untuk mengambil beberapa potong roti yang sempat ia beli tadi. Namun, betapa terkejutnya ia ketika melihat beberapa lembar uang didalam tasnya dengan sokan kertas.
Terima kasih telah berteman denganku. Terima kasih telah menjadi sosok yang hangat untuk menciptakan generasi bangsa yang hebat dan cerdas. Tenang saja, kamu tidak sendirian, akan banyak orang yang akan membersamaimu ketika kamu mau menciptakan sedikit kebaikan untuk menghasilkan ribuan kebaikan. Semangat. Sampai ketemu hari esok untuk memulai cerita baru. Titip salam dengan Toto, kemarin aku bertemu dengannya saat ia mengikuti Olimpiade Matematika.
Rani hanya tersenyum, ia benar. Membangun sebuah peradaban bukan hanya satu orang namun diperlukan ribuan orang. (Zu/AJP)