Bersihkan Indonesia dari Konflik SARA dengan Salam Kebangsaan
Nasionalisme kita kenal sebagai konsep pemersatu bangsa. Menilik kembali makna dari nasionalisme, jauh sebelum bangsa Indonesia merdeka, nasionalisme sudah menjadi pembicaraan penting di kalangan masyarakat Indonesia. Nasionalisme yang dipahami sebagian besar orang adalah suatu paham yang menganggap bahwa kesetiaan tertinggi atas pribadi diserahkan kepada Negara.
Di tahun 1908 organisasi Budi Oetomo dibentuk, dimana awal mula sebuah gerakan kebangkitan nasional dimulai, melalui gerakan- gerakan yang dilakukan organisasi tersebut sampai diikrarkannya sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 merupakan bukti kongkrit dari nasionalisme. Hal tersebut membentuk rasa nasionalisme dan patriotisme (cinta tanah air) bangsa Indonesia semakin menjadi, mereka memegang teguh prinsip nasionalisme untuk meraih tujuan bersama yaitu menajdikan nnegara Indonesia merdeka.
Namun makna nasionalisme mulai tergerus seiring dengan bergulirnya jaman. Bisa dilihat dengan banyaknya konflik antar Suku, Ras dan Agama (SARA) yang terjadi di Indonesia. Tidak adanya rasa persatuan didalam diri setiap individu memunculkan sebuah sikap intoleran. Tentunya bukan ini yang dicita-citakan oleh leluhur yang telah berjuang untuk membawa kemerdekaan Indonesia.
Pancasila sebagai Pemupuk Kebangsaan
Bangsa yang besar ini harus terus dirawat agar tidak ada lagi perpecahan didalamnya. Tidak ada lagi konflik SARA di kalangan masyarakat. Terdapat sebuah ideology yang telah ditanamkan dibenak bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia secara keseluruhan, dimana sila-sila yang terkandung didalamnya sangat erat kaitannya dengan kehidupan bangsa. Pemahaman nilai-nilai pancasila akan menciptakan dan menumbuhkan jiwa persatuan dan kesatuan, serta rasa nasionalisme yang tinggi.
Kasus-kasus diskriminasi yang juga masih sering terjadi, akibat perbedaan agama, rasa tau pun suku, membuat perdamaian di Indonesia semakain terkikis. Padahal semua bentuk intoleran tersebut merupakan sebuah kecideraan komitmen. Bangsa Indonsia telah berkomitmen dalam sumpah pemuda. Dengan diwakilkan oleh para pemuda pada 28 Oktober 1928.
Tidak adanya nilai juang bersama juga bisa melunturkan rasa nasionalisme. Pada jaman dahulu, bangsa Indonesia memiliki rasa saling memiliki karena bersama-sama memerangi penjajah. Rasa kebersamaan tersebut akhirnya dimiliki dan membuat rasa nasionalisme yang tertanam kuat. Sehingga tidak lagi rasa inteloran, dan saling menghargai satu sama lain tanpa memandang suku, ras, dan agama.
Lalu bagaimana di era reformasi ini? Bagaimana kita bisa memupuk kembali rasa nasionalisme didalam diri bangsa Indonesia? Salah satu caranya adalah dengan Salam Nasionalisme, yaitu Salam Pancasila. Dengan keragaman suku, ras dan agama tentunya bangsa Indonesia memiliki sebuah kultur salam yang berbeda-beda disetiap daerah, hal tersebut nyatanya juga bisa menjadi sebuah pembatas tersendiri bagi orang-orang yang masih belum memiliki rasa toleransi.
Adanya salam nasionalisme, akan memberikan sebuah semangat baru dan motivasi bangsa Indonesia untuk menjaga Negara ini dari perpecahan. Seperti yang diucapkan oleh Bung Karno yang menyerukan salam nasionalisme, dengan tujuan untuk meningatkan rasa percaya diri bangsa Indonesia dan memotivasi diri untuk terus berjuang hingga Indonesia merdeka.
Salam Kebangsaan sebagai Obat Penawar Konflik
Sejak merdekanya Indonesia, konflik demi konflik terus terjadi, bahkan hingga masa kini. Konflik antar suku, ras dan agama sudah terjadi sejak adanya suku, ras dan agama itu berdiri. Artinya konflik ini adalah konflik klise yang menjadi pekerjaan rumah sampai saat ini. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya stereotype dari satu golongan ke golongan yang lain.
Dalam sejarahnya, konflik SARA memang tidak ada habisnya. Beberapa sejarah besar yang mencatat konflik suku di Eropa salah satunya adalah Perang Salib, yang menjadi sebuah konflik terbesar umat beragama. Salah satu factor yang menjadi pemicu terjadinya konflik tersebut adalah klaim kebenaran dari masing-masing pihak.
Adanya kecenderungan dari setiap umat mengklaim bahwa ajarannya sendirilah yang paling benar. Mereka (umat beragama) telah mengklaim telah melakukan, mengamalkan, memahami, dan mejalankan sesuai nilai suci tersebut. Akibatnya ketika ada yang berbeda paham dengannya akan secara langsung menolak secara ekstrim golongan tersebut. Salah satu contohnya adalah kasus para penganut Jemaah Ahmadiyah yang terusir dari rumahnya sendiri dan harus mengungsi ke daerah lain yang lebih aman.
Contoh konflik lainnya adalah yang pernah terjadi di Poso yang sudah terjadi sejak 1992 yang terus berlangsung hingga 2001. Konflik yang terjadi adalah antara Umat Muslim dan Kristen, tidak ada yang benar dari keduanya, karena memang sudah menjadi isu sejak lama yang terus digemborkan. Salah satu yang menjadi pemanas disini adalah media, yang dalam menyampaikan informasi tidak komprehensif dan kronologi yang jelas, sehingga terus menjadi senjata untuk melakukan serangan oleh salah satu pihak.
Konflik-konflik lainnya yang juga pernah terjadi adalah konflik antar Suku dayak dengan suku Madura, konflik agama di Bogor, konflik Sunni dan Syiah di Jawa Timur, konflik diskriminasi terhadap mahasiswa Papua yang masih menjadi isu hangat hingga masa kini.
Dari seluruh rentetan fenomena konflik SARA di Indonesia tersebut tentunya menjadi PR bersama untuk saling menyadarkan satu sama lain, bahwa tidak ada yang paling benar. Semua ajaran adalah benar bagi penganutnya. Mari kita pikirkan bersama, ajaran agama mana yang memberikan ajaran buruk, tentu tidak ada.
Salah satu kunci untuk meredam semua konflik itu adalah sikap toleransi. Berdasarkan definisi, kata toleransi yang berasal dari bahasa latin yaitu tolerare yang memiliki arti bertahan atau memikul. Toleransi juga bisa diartikan sebagai sebagai sebuah bentuk menghargai satu sama lain dan memberikan tempat untuk mereka yang memiliki pendapat yang berbeda.
Jika sudah memahami konsep toleransi tentunya tidak akan terjadi konflik-konflik seperti yang telah disebutkan diatas. Pemerintah juga memiliki peran penting untuk terus memupuk keberagaman ini. Bukan justru memanfaatkan perbedaan sebagai sebuah sarana untuk naik panggung politik. Kasus-kasus politik identitas yang sampai saat masih terus hangat untuk digoreng, apalagi ketika sedang musim pemilihan kepala daerah. Hal tersebut tentu bisa diredam, jika pemerintah bisa fair dalam menjalankan roda pemerintahannya, bukan hanya untuk kepentingan individu atau golongannya sendiri.
Media juga memiliki peran cukup penting untuk terus memberikan informasi yang akurat. Hal tersebut juga telah tertuang dalam kode etik jurnalistik dan Sembilan elemen jurnalisme, bahwa pers harus memberikan kebenaran dan independen. Sebagai salah satu pilar demokrasi, banyak pers yang sampai saat ini masih ditunggangi dan terus menyebarkan kebenaran atas dasar kepentingan golongan.
Keluar dari seluruh permasalahan tersebut, mari kita kembali kebelakang dan menengok bagaimana sejarah bangsa Indonesia. Kita memilih sebuah landasan Negara yang sangat kuat dan sudah mencerminkan jati diri bangsa Indonesia, yaitu Pancasila. Dengan setiap sila yang dikandungnya seharusnya sudah bisa membawa perdamian untuk seluruh masyarakat Indonesia.
Selain itu, untuk terus memupuk keberagaman, Ir. Soekarno juga sudah memberikan sebuah symbol untuk bangsa Indonesia, yaitu sebuah salam kebangsaan, salam Pancasila. Dengan mengangat tangan tegak keatas, membuka kelima jari, dan mengucap Merdeka!.