Aku Menemukanmu, Sekaligus Kehilangan Dirimu
Pernahkah dalam hidup kau dibuat senang se-persekian detik lalu dihempas begitu kuat ke dasar tanah hingga untuk mengeluarkan air mata kesakitanpun kau tidak mampu?
Tadi malam, Tuhan membuatku mengalami hal itu.
Aku pergi ke sekolahku seperti yang biasanya aku lakukan, tidak ada yang istimewa, tidak ada yang berbeda. Semua berjalan lancar sampai di satu detik kemudian, seorang lelaki bertubuh besar dan terlihat garang namun punya ekspresi menyenangkan yang menular itu, mengaitkan lengannya di bahu kecilku. Aku terkejut sekali, tetapi anehnya hatiku menghangat dan rasanya aku sudah terbiasa dengan hal ini. Dengan lelaki besar ini.
Aku tidak mampu menjauhkan tubuh lelaki ini dari tubuhku. Aku mematung, masih terkejut, tetapi perasaan hangat dan senang itu semakin membuncah. Dia terlihat kebingungan dengan ekspresi yang aku tampilkan dihadapannya. Tapi tanpa berlama-lama, dia langsung menarik tubuhku dengan lengannya itu untuk berjalan bersama menuju kelasku. Ternyata kami tidak sekelas, aku ketahui sebab sebelum ke kelasku, dia melempar tasnya ke dalam kelas sebelumnya.
Setelah aku didudukkannya dikursi, yang ku pikir mungkin memang milikku, dia memandangi wajahku sebentar sebelum akhirnya pergi tanpa mengatakan apa-apa. Aku melihat dia keluar kelasku sambil sekelebat-sekelebat memori dari gadis ini menampilkan banyak kenangan-kenangan indah yang pernah ia miliki bersama lelaki itu. Mereka bahagia, sangat.
Beberapa hari kemudian dan hari-hari seterusnya, berkat memori dari gadis ini, aku menjalani kehidupan yang penuh kebahagiaan bersama dia. Dia, sosok lelaki besar yang ternyata begitu menyayangiku, ah tidak, maksudku, menyayangi gadis mungil ini. Lelaki itu selalu melindungiku, selalu bersamaku, semakin hari semakin lekat. Kami bahagia.
Kemudian aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba semua menjadi keluar dari cerita yang seharusnya. Teman-temanku, argh tidak-tidak, maksudku teman-teman gadis mungil ini mulai menjauhiku dengan alasan bahwa aku telah berbeda, aku seperti bukan aku, aku terlalu bergantung pada lelaki itu padahal ia tidak baik karena membuatku melupakan teman-temanku. Mereka marah dan kecewa padaku. Aku ingin sekali meneriaki mereka bahwa gadis mungil yang sekarang adalah aku. Tidak bisakah mereka menerima diriku yang seperti ini? Aku hanya ingin bahagia, dan mereka tidak mengizinkannya.
Aku tidak menahan teman-teman gadis mungil ini ketika mereka mulai pergi meninggalkanku. Aku tidak berekspresi apa-apa, meski rasa sakit kehilangan itu ternyata terasa sangat nyata di hatiku. Hatiku, ini benar-benar hatiku, terasa sangat sakit dan aku ingin menangis. Tapi layaknya aroma rumput hijau yang menenangkan setelah hujan deras, lelaki itu sudah ada di sampingku, bertanya apa aku mau ke kafetaria sekolah bersamanya. Ini aneh sekali, sedetik tadi aku ingin menangis dan meraung, tetapi karena lelaki ini aku langsung otomatis tersenyum dan mengangguk. Sihirnya kuat sekali padaku.
Selepas kami dari kafetaria menuju kelasku, tanpa kami yang sedang tertawa berdua menyadari bahwa sebuah bola melayang tepat ke arah dadaku. Aku terkejut dan kesakitan bukan main. Aku terduduk sambil memegangi dadaku, mencari nafas yang rasanya sulit sekali ditemukan. Ini sakit sekali. Air mataku jatuh setetes dan sekelebat memori datang kepadaku. Memori tentang gadis mungil ini yang sedang menghadapi kematiannya. Ternyata, gadis mungil ini sudah tidak ada, dia tertabrak truk saat menyeberang untuk pulang sekolah selepas piket sore. Tetapi karena itu, aku mengetahui kehadiranku disini. Di detik terakhir dia akan pergi, air matanya menetes dengan hatinya yang terus meraung untuk meminta tetap hidup agar bisa terus bersama Rafi, lelaki besar itu. Ia ingin membahagiakan lelaki itu, selalu.
Rafi sedang menangkup wajahku dan dengan panik bertanya apa aku baik-baik saja. Aku memandangi wajahnya, dan rasanya sangat menyakitkan membayangkan jika ia tahu gadis yang ia cintai ini telah tiada. Tetapi Rafi tidak boleh tau, selamanya. Ia harus tetap hidup.
Aku berkata kepada Rafi sambil tersenyum bahwa aku tidak apa-apa dan tadi aku hanya kaget saja. Dia memelukku sebentar, sebelum kemudian mendatangi laki-laki ditengah lapangan yang menendang bola ke arahku. Tanpa pikir panjang, Rafi mulai menghajar lelaki itu. Tidak ada yang berani melerai mereka. Tidak ada yang mampu tepatnya, tidak ada yang mampu menarik tubuh lelaki besar itu dari atas tubuh lelaki kurus dibawah yang sedang dipukuli.
Aku panik dan bingung. Hingga tanpa aku sadari, aku telah melayangkan sihir yang membuat Rafi seketika ambruk dan pingsan. Tidak bisa menarik kembali keadaan, akhirnya aku membuat waktu berhenti dan membawa Rafi melayang dengan sihirku ke UKS sekolah. Kemudian, aku membuat sekolah kembali normal seperti sebelumnya tidak terjadi insiden tadi.
Aku memandangi wajah pulas Rafi, lelaki ini begitu polos dan lugu. Sosok yang selalu aku inginkan menjadi milikku seutuhnya. Aku telah menyadari bahwa aku, bukan gadis mungil ini, telah benar-benar jatuh cinta kepada lelaki besar ini. Dia harus ku jaga.
Aku masih menunggu Rafi bangun, ketika seorang lelaki tua berambut dan berjenggot panjang berwarna putih berkata, “Kali ini kau telah melakukan hal yang benar dengan menghapus cintanya kepada gadis itu.” Aku tidak mengerti maksud kakek tua ini. Aku menghapus cinta Rafi kepada gadis mungil itu? Bukankah aku hanya melayangkan sihir untuk membuatnya pingsan? Pertanyaan dalam benakku tidak ku suarakan, tetapi kakek tua ini langsung berkata, “Kau tidak sadar menggunakan sihir terlarang itu. Kau terbawa memori gadis itu. Sekarang sebaiknya kau pergi agar lelaki ini bisa bangun.”
Aku tidak berkata apa-apa, tidak bisa tepatnya. Aku telah melakukan kesalahan yang benar, yang aku tidak tahu akan menyebabkan apa dikemudian hari. Aku bergegas pergi dari UKS tersebut, setidaknya agar Rafi bisa bangun, ‘kan?
Keesokan harinya, Rafi mengajakku bicara berdua di kursi depan antara kelas kami. Ekspresinya berbeda, tidak semenyenangkan biasanya. Sikapnya berbeda, tidak sehangat biasanya. Tapi senyumnya tetap sama, membuat aku berdebar-debar, meski itu hanya senyum kecil yang canggung. Rafi tidak menanyakan bagaimana pagiku seperti yang biasa ia lakukan. Ia memanggil namaku, nama gadis mungil ini, dengan serak. “Na, kita harus putus.” Rafi menatap mataku dengan lekat, meyakinkan bahwa apa yang aku dengar bukanlah khayalan, meyakinkan bahwa ia tidak bercanda, ia seserius itu. Aku masih diam, meneliti tiap sudut wajah lelaki indah ini. Dia melanjutkan, “Aku juga gak ngerti, aku merasa gak cinta lagi. Pas ngeliat kamu, aku cuma ngerasa hampa.”
Dan terjawab, kata-kata kakek tua itu benar. Rafi berhenti mencintaiku, tepatnya berhenti mencintai gadis mungil ini. Dan aku sedang berada di dalam tubuh gadis ini. Sekali lagi aku masih diam, aku ingin sekali menangis dihadapannya, tapi aku tidak bisa. Perpisahan ini harus berlangsung dengan baik-baik saja. Akhirnya menahak sesak di tenggorokan dan dadaku, aku berkata, “Oke, Raf.” Aku berdiri, pergi ke kelasku. Mengambil tasku, aku pergi dari sekolah hari itu. Hari yang tepat untuk bolos sekolah.
Waktu berjalan cepat, semester dua telah datang. Ini akhir masa SMA-ku, tetap di kelas yang sama. Ketika aku masuk kelas, seseorang telah duduk di bangkuku. Sepertinya itu teman dari mantan temanku. Aku mendatangi mejaku dan bertanya, “Permisi, aku duduk dimana ya?” Perempuan itu tanpa berkata-kata langsung berpindah dari kursiku. Aku mengangkat bahu, dan kemudian duduk ditempat yang sudah seharusnya. Mantan temanku berkata, “Selamat kembali, Na. Gue sengaja jagain bangku itu buat lo.” Dia berkata tanpa melihatku, lurus ke depan, tapi aku melihat senyum tulusnya dari samping. Aku dibersamai temanku kembali, tepatnya teman gadis mungil ini. Aku tersenyum bahagia pertama kali di semester ini.
——————————-
Aku terbangun akibat suara kucingku yang berkelahi dengan kucing ibuku. Menggeliat dan membuka mata menyesuaikan cahaya yang masuk. Cuma mimpi?, batinku bertanya. Dan yap benar, semua itu hanya mimpi. Tapi sakit kehilangan lelaki besar terasa sangat menyakitkan, sampai di dunia nyata ini, sampai detik ini.
Banjarbaru, 7 Februari 2021. 07:11 AM.
(DEL/IAN)