Menggali Keterampilan Literasi Selama Masa Pandemi
Sejak dinyatakan sebagai bencana global pada 11 Maret 2020, Covid-19 telah menyebabkan lebih dari 1,2 miliar anak di dunia terpaksa menjalani proses pembelajaran di luar kelas (World Economic Forum, 2021). Di Indonesia sendiri, perubahan cara belajar dari yang semula bersifat langsung (tatap muka) menjadi tidak langsung (jarak jauh) tentu menghadirkan beragam polemik, sebut saja di antaranya ialah keterbatasan dalam akses internet, sulitnya mengadaptasi pola atau model pembelajaran di ruang virtual, hingga kurangnya kemampuan dan sumber daya pengajar dalam mengeksplorasi proses pembelajaran jarak jauh (PJJ). Selain dihadapkan pada aturan terkait interaksi individu dan kelompok, kini kita juga harus dihadapkan pada satu tantangan besar, yakni “Bagaimana proses pembelajaran tetap dapat berlangsung di tengah terbatasnya akses mobilitas?”
Pertanyaan ini sejatinya telah dijawab oleh berbagai negara di dunia (USA, UK, Australia, Kanada, dan Korea) bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 hadir, yakni dengan mengadaptasi dan mengintegrasikan peranan teknologi dalam proses pembelajaran. Beruntung, pemerintah Indonesia dan pihak swasta “tanggap” dalam menghadapi isu PJJ ini dengan terus berupaya menghadirkan platform belajar yang ramah dan user friendly, seperti Rumah Belajar, Kedaireka, Guru Berbagi, Kelas Pintar, Sekolahmu, Quipper, Zenius, hingga Ruangguru. Kehadiran ruang-ruang virtual seperti zoom, google meet, skype, cisco webex, Khan Academy, Byju’s, dan Geeky juga menjadi segelintir sumber belajar yang dapat memaksimalkan PJJ.
Akan tetapi, peranan utama sekaligus model paling krusial dalam proses pembelajaran bukan dititikberatkan pada aplikasi yang digunakan atau platform virtual yang dikembangkan, melainkan pada kreativitas dan kemampuan mengolah informasi beserta sumber-sumber yang telah disediakan. Tantangan kita semakin kompleks, karena ternyata kemampuan kita dalam mengakses internet dan produktivitas memanfaatkan teknologi dalam proses pendidikan masih terbilang rendah. Menurut laporan Economist Intelligence Unit (2020), Indonesia menduduki peringkat 61 dari 100 negara dalam hal kesiapan menggunakan internet. Padahal di tahun yang sama, survei global oleh Universitas Cambridge pada 10 negara termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa 42% peserta didik menggunakan smartphone dan 48% sisanya menggunakan komputer meja dalam setiap proses pembelajaran. Selain itu, survei yang dilakukan Kemkominfo bersama Katadata menunjukkan bahwa indeks literasi digital Indonesia berada pada skala 3,407 dari skala maksimal 4. Kajian tersebut mengindikasikan bahwa indeks literasi digital di Indonesia belum mencapai tingkat baik. UNESCO sendiri telah merilis ICT Competency Framework for Teacher sebagai pembekalan kompetensi-kompetensi abad 21 dalam menghadapi persaingan industri, khusus dalam ranah pendidikan dan pengajaran, yang salah satu kunci utamanya ialah digital literacy.
Literasi digital tidak hanya berupa kepiawaian individu dalam menggunakan smartphone dan internet, namun juga menunjukkan kemampuan dalam memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk melakukan evaluasi, menciptakan karya, serta mengkomunikasikan informasi tersebut melalui keterampilan kognitif dan teknis. Individu saat ini diharapkan untuk mampu menyaring dan mengolah sumber belajar yang digunakan sehingga dapat mencipta, berkolaborasi, dan berbagi konten digital secara bertanggungjawab. Konten digital yang dimaksud harus bersumber dari pihak yang terpercaya, misalnya seperti artikel ilmiah maupun buku elektronik yang telah diakui kredibilitasnya. Di sinilah literasi digital berperan penting, terutama saat proses mengakses, mencari, dan mengumpulkan bahan informasi. Individu dengan literasi digital yang kurang baik akan sulit melakukan hal tersebut, sehingga menyebabkan kredibilitas informasi yang diperoleh menjadi lemah atau cenderung rendah.
Informasi dari jurnal atau sumber kredibel lainnya memungkinkan individu untuk memperoleh insight atau new perspective, sehingga dapat menambah referensi, seperti cara belajar, cara mengajar, dan tentunya meningkatkan kemampuan literasi baca tulis melalui proses membaca dan mengolah kosa kata. Kebiasaan membaca tulisan ilmiah akan menambah wawasan tentang paradigma dunia, khususnya dunia pendidikan. Tingkat kredibilitas tulisan ilmiah pun juga terbilang cukup tinggi sebab didasarkan pada metode dan prosedur penelitian yang tepat, akurat, dan diakui.
Gambar 1. Screenshot jurnal Elsevier (Sumber: Dokumen Pribadi Penulis)
Dengan menelusuri dan mengkaji isi dari artikel ilmiah tersebut (Gambar 1), diperoleh informasi mengenai perubahan proses manajemen pembelajaran dan metode pengajaran agar tidak mengganggu capaian hasil belajar peserta didik. Adapun usulan yang disajikan dalam artikel tersebut ialah dengan menekankan penggunaan komputer dan jaringan internet serta mengintegrasikan pembelajaran daring sebagai bagian wajib dari proses belajar-mengajar. Upaya lain dapat dilakukan ialah dengan memanfaatkan fitur di komputer atau laptop semaksimal mungkin. Fitur seperti Microsoft Whiteboard dan Microsoft OneNote yang dibantu oleh Pen Tabel dan software Epic Pen memungkinkan penyajian materi dilakukan secara lebih sistematis.
Gambar 2. Screenshot dari paparan materi (Sumber: Dokumen Pribadi Penulis)
Selain menggunakan perangkat-perangkat tersebut, memaksimalkan peranan kuota yang diberikan Kemendikbud dengan mengembangkan buku ajar digital juga dapat menjadi alternatif. Buku ajar yang dikembangkan hendaknya menggabungkan beberapa unsur pembelajaran seperti media audio, media visual, media audio visual, hingga self assessment.
Gambar 3. Screenshot dari paparan materi (Sumber: Dokumen Pribadi Penulis) (https://www.instagram.com/p/CNPwrDxpeYj/)
Teknologi, internet, smartphone, komputer, hingga perangkat digital lainnya telah memberikan peluang dan ruang yang lebih besar untuk memperkaya wawasan dan mendorong lahirnya varian proses pembelajaran yang adaptif dan menyenangkan. Maka demikian, upaya terbaik yang bisa kita lakukan saat ini adalah dengan terus meningkatkan produktivitas untuk membuka dan memperoleh lebih banyak ruang dana bertumbuh dan belajar. Oleh sebab itu, peranan literasi tetap harus diintegrasikan dalam proses pembelajaran, khususnya literasi baca dan literasi teknologi. Dengan demikian, wajah pendidikan di Indonesia tetap dapat unggul, inovatif, mampu mengimbang paradigma kebutuhan zaman dan keadaan terkini, siap mengubah tantangan menjadi peluang, serta produktif dan kreatif untuk mewujudkan pembelajaran yang komprehensif.
Fauzia Dwi Sasmita_Banjarmasin (Universitas Negeri Malang)