Tragedi WTC (World Trade Centre) di Amerika Serikat 2001 Dan Pengaruhnya
Sejak tragedi runtuhnya gedung kembar WTC (World Trade Centre) di Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa ribuan jumlahnya. Kejadian yang dahsyat ini mengagetkan manusia di seluruh belahan dunia dan mengutuknya sebagai perbuatan keji dan tidak berperikemanusiaan, karena orang-orang yang tidak berdosa telah menjadi korban tanpa mengetahui ujung pangkal persoalannya. Perbuatan jahat (baca: terorisme ) itu kemudian menjadi fenomena sosial yang senantiasa ada dalam kehidupan masyarakat dan akan selalu terjadi dan dihadapi oleh seluruh masyarakat di dunia ini, dan hal itu dirasakan sangat meresahkan dan mengganggu ketentraman hidup masyarakat. Pada hakekatnya suatu masyarakat selalu menginginkan adanya kehidupan yang tenang dan teratur, harmonis dan tenteram serta jauh dari gangguan kejahatan yang mengancam kehidupan masyarakat. Kejahatan terorisme merupakan salah satu bentuk kejahatan berdimensi internasional yang sangat menakutkan masyarakat. Di berbagai negara di dunia telah terjadi kejahatan terorisme baik di negara maju maupun negara-negara sedang berkembang, aksi-aksi teror yang dilakukan telah memakan korban tanpa pandang bulu, yang menyebabkan . Perserikatan Bangsa Bangsa dalam kongresnya di Wina Austria tahun 2000 mengangkat tema The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders, antara lain menyebutkan terorisme sebagai suatu perkembangan perbuatan dengan kekerasan yang perlu mendapat perhatian. Menurut Muladi, terorisme merupakan kejahatan luar biasa (Extraordinary Crime) yang membutuhkan pula penanganan dengan mendayagunakan cara-cara luar biasa (Extraordinary Measure) karena berbagai hal:
- Terorisme merupakan perbuatan yang menciptakan bahaya terbesar (the greatest danger) terhadap hak asasi manusia. Dalam hal ini hak asasi manusia untuk hidup (the right to life) dan hak asasi untuk bebas dari rasa takut.
- Target terorisme bersifat random atau indiscriminate yang cenderung
mengorbankan orang-orang tidak bersalah. - Kemungkinan digunakannya senjata-senjata pemusnah massal dengan
memanfaatkan teknologi modern. - Kecenderungan terjadinya sinergi negatif antar organisasi terorisme nasional
dengan organisasi internasional. - Kemungkinan kerjasama antara organisasi teroris dengan kejahatan yang
terorganisasi baik yang bersifat nasional maupun internasional. - Dapat membahayakan perdamaian dan keamanan internasional.
Terorisme sebagai kejahatan telah berkembang menjadi lintas negara.
Kejahatan yang terjadi di dalam suatu negara tidak lagi hanya dipandang sebagai
yurisdiksi satu negara tetapi bisa diklaim termasuk yurisdiksi tindak pidana lebih
dari satu negara. Menurut Romli Atmasasmita; terorisme dalam
perkembangannya menimbulkan konflik yurisdiksi yang dapat mengganggu
hubungan internasional antara negara-negara yang berkepentingan di dalam
menangani kasus-kasus tindak pidana berbahaya yang bersifat lintas batas
Kejahatan terorisme menggunakan salah satu bentuk kejahatan lintas
batas negara yang sangat mengancam ketentraman dan kedamaian dunia.
Peristiwa Selasa, 11 September 2001, yang menewaskan sekitar 6.000 orang warga sipil memang sangat dahsyat. Mungkin, inilah peristiwa terdahsyat di awal abad ke-21. Dampaknya kepada dunia, luar biasa. Meski hanya dialami oleh AS, tak urung tragedi WTC dan Pentagon telah menjadi “teror” bagi seluruh dunia. Dunia yang semula “tertidur lelap”, sontak terbangun dan kini terus menerus berada dalam deraan kekhawatiran dan kecemasan akan terjadinya serangan serupa. Hampir tak seorang pun meramalkan, serangan teroris dengan modus “baru” seperti yang terjadi tanggal 11 September 2001. Sebuah pesawat langsung ditabrakkan di menara kembar WTC, New York, pada pagi hari, di saat jantung kota itu belum lagi berdetak. Selang beberapa menit kemudian, sebuah pesawat ditabrakkan di gedung yang sama, sehingga menara kembar itu benar-benar runtuh. Dan dalam waktu yang bersamaan, sebuah pesawat dijatuhkan di lambang kedigdayaan dan pusat kekuatan militer AS, Pentagon. Disusul dengan satu pesawat lagi yang dijatuhkan di Shanksville, Pensylvania. Dalam hitungan detik dan menit, seluruh lambang kedigdayaan ekonomi dan militer AS hancur lebur. Kepanikan dan ketakutan mewarnai AS. Presiden AS, George W. Bush, segera mengumumkan kepada dunia bahwa AS diserang teroris biadab. Dan tanpa didukung oleh data dan fakta yang akurat, Bush menuduh Osama bin Laden dan jaringan Al Qaeda sebagai dalang di balik tragedi kamikaze itu. Rezim Taliban di Afghanistan yang tetap ngotot melindungi Osama bin Laden dan kelompok Al Qaeda dihancurkan oleh pasukan koalisi pimpinan AS, meskipun tidak berhasil menangkap Osama bin laden Pasca tragedi Selasa kelabu dan runtuhnya rezim Taliban oleh pasukan koalisi, AS segera mencanangkan program perang melawan terorisme global. Tampilan politik luar negeri AS cenderung agresif dan ofensif dalam mengkampanyekan perburuan menghancurkan sel-sel Al Qaeda dan jaringan terorisme global di seantero dunia. Prinsip-prinsip hak asasi manusia (selanjutnya disebut HAM) dan kedaulatan negara, yang seharusnya dijunjung tinggi dalam arena internasional, mulai tidak diindahkan demi membasmi terorisme global. Politik “bumi hangus”, yang sebenarnya telah mengakar dalam realisme politik AS, telah menjadi ancaman tersendiri bagi eksistensi dan implementasi HAM internasional. Betapa tidak, dalam rangka menggelar perang melawan terorisme global, cara atau metode yang dipergunakan oleh AS sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kedaulatan negara. AS secara sembarangan menuduh kelompok-kelompok Islam militan sebagai teroris dan negara-negara yang sebelumnya membangkang atas
hegemoninya sebagai negara atau sarang teroris. (TIP/IAN)
Sumber :
Junaid, H. 2013. Pergerakan Kelompok Terorisme Dalam Perspektif Barat Dan Islam. Sulesena. 8(2): 118-135.
Subagyo, A. 2015. Terorisme(Me): Aktor & Isu Global Abad XXI. Alfabeta. Bandung.
Nainggola, P.P. 2002. Terorisme Dan Tata Dunia Baru.