Strategi Pencegahan Radikalisme
Salah satu jalan keluar untuk mengatasi potensi radikalisme adalah melakukan penangkalan terhadap paham radikalisme. Terdapat enam variabel yang dapat berfungsi sebagai daya tangkal terhadap potensi radikalisme yaitu kesadaran hukum, kesejahteraan, pertahanan dan keamanan, keadilan, kebebasan, dan kearifan lokal. Radikalisme sering diasosiasikan dengan pandangan atau tindakan yang identik dengan penggunaan kekerasan, padahal pada dasarnya memiliki makna yang netral. Seperti, untuk mencapai kebenaran dalam studi filsafat haruslah dicari hingga akar- akarnya (radikal), radix. Akan tetapi, ketika istilah ini dilekatkan dengan isu terorisme maka radikalisme bermakna negatif. Kemudian radikalisme identik dengan kekerasan, dipersepsikan sebagai anti-sosial. Terdapat pandangan yang menyebutkan bahwa seseorang akan bersikap radikal atau melawan dan siap berkorban demi mempertahankan dirinya. Perlawanan dapat muncul dari orang yang lemah atau terancam sehingga ia akan menggunakan segala kekuatannya untuk mempertahankan diri. Jadi perlawanan muncul ketika orang merasa terancam.
Dilain pihak, orang terancam yang berada dalam posisi lebih kuat maka ia bisa menindas dan jika berada pada posisi yang lemah maka ia akan melawan dan menantang. Salah satu alasan mengapa seseorang merasa terancam karena mereka memiliki alasan ideologis.
BNPT mendefinisikan radikalisme sebagai suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal.
Intoleran (tidak mau menghargai pendapat & keyakinan orang lain), Fanatik (selalu merasa benar sendiri; menganggap orang lain salah), Eksklusif (mengunggulkan diri dari kelompok lain dan menutup diri dari pemahaman yang terbuka), Revolusioner (cenderung menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu sikap yang mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan aksi-aksi yang ekstrem. Dalam upaya menanggulangi terorisme, Pemerintah Indonesai telah membentuk lembaga bernama BNPT berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 yang kemudian dipebaharui menjadi Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2012. BNPT mempunyai tiga kebijakan bidang pencegahan, antara lain bidang perlindungan dan deradikalisasi; bidang penindakan dan pembinaan kemampuan; serta bidang kerjasama internasional. Dalam menjalankan kebijakan dan strateginya, BNPT menggunakan pendekatan holistik dari hulu ke hilir. Penyelesaian terorisme tidak hanya selesai dengan penegakan dan penindakan hukum (hard power) akantetapi yang paling penting adalah menyelesaikan persoalan dengan upaya pencegahan (soft power).
Dalam bidang pencegahan, BNPT menggunakan dua strategi yaitu:
1) Kontra radikalisasi yakni upaya penanaman nilai-nilai ke-Indonesiaan serta nilai-nilai non- kekerasan. Dalam prosesnya strategi ini dilakukan melalui pendidikan baik formal maupun non-formal. Kontra radikalisasi diarahkan masyarakat umum melalui kerjasama dengan tokoh agama, tokoh pendidikan, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh pemuda dan stakehorlder lain dalam memberikan nilai-nilai kebangsaan.
2) Deradikalisasi yang ditujukan pada kelompok simpatisan, pendukung inti dan militan yang dilakukan baik di dalam maupun di luar lembaga pemasyarakatan. Dalam Radikalisme di Indonesia: Antara Historisitas dan Antropisitas, deradikalisasi merupakan upaya mendeteksi secara dini, menangkal sejak awal, dan menyasar berbagai lapisan potensial dengan beragam bentuk dan varian yang relevan bagi masing-masing kelompok yang menjadi sasaran. Tujuan utama dari deradikalisasi, bukan hanya mengikis radikalisme, memberantas potensi terorisme tapi yang utama adalah mengokohkan keyakinan masyarakat bahwa terorisme memberikan dampak yang buruk bagi stabilitas nasional bahkan dapat memberikan citra Negara yang buruk bagi dunia Internasional. Tujuan dari deradikalisasi agar; kelompok inti, militan simpatisan dan pendukung meninggalkan cara-cara kekerasan dan teror dalam memperjuangkan misinya serta memoderasi paham-paham radikal mereka sejalan dengan semangat kelompok Islam moderat dan cocok dengan misi-misi kebangsaan yang memperkuat NKRI. Pemerintah melakukan program deradikalisasi sebagaimana tercermin dalam fungsi BNPT yang kesembilan: “Pengoperasian Satuan Tugas- Satuan Tugas dilaksanakan dalam rangka pencegahan, perlindungan, deradikalisasi, penindakan dan penyiapan kesiapsiagaan nasional di bidang penanggulangan terorisme.
Strategi pencegahan radikalisme melalui lembaga pendidikan keterlibatan berbagai pihak dalam menangani masalah radikalisme dan terorisme sangat diharapkan. Tujuannya adalah untuk mempersempit ruang gerak radikalisme dan terorisme, serta kalau perlu menghilangkan sama sekali. Saat ini, peran sekolah dan lembaga pendidikan memiliki arti penting dalam menghentikan laju radikalisme. Strategi pencegahan radikalisme yang dapat dilakukan oleh lembaga pendidikan formal maupun non formal yaitu:
1) Memperkuat Pendidikan Kewarganegaraan (civic education) dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Melalui pendidikan kewarganegaraan, para generasi muda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan cinta tanah air serta kepedulian antar warga masyarakat.
2) Mengarahkan para generasi muda pada beragam aktivitas yang berkualitas baik dibidang akademis, sosial, keagamaan, seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka menjadi generasi muda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya sehingga dapat mengantisipasi generasi muda dari pengaruh ideologi radikal terorisme.
3) Memberikan pemahaman agama yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.
4) Memberikan keteladanan kepada para generasi muda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para tokoh masyarakat harus dapat menjadi role model yang bisa diikuti dan diteladani oleh para generasi muda. (TIP/IAN)