POLA ASUH ANAK YANG TERBAIK
Apa yang kalian pikirkan ketika membaca judul tag line di atas? Jika kalian berpikir akan menemukan jawaban atas pertanyaan bagaimana pola asuh anak yang terbaik dan diakui dunia dalam tulisan ini maka, kalian salah dan tentunya hal yang menjadi ekspetasi kalian tersebut tak akan pernah terwujud. Akan tetapi, dapat dipastikan bahwa mind set kalian akan berubah tentang pola asuh anak ketika membaca tulisan ini.
Saya memang seseorang yang belum berkeluarga apalagi memiliki anak. Namun, background pendidikan saya menuntut saya untuk terus belajar dan mendalami bagaimana pola asuh anak. Saya adalah seorang guru sekolah dasar yang hampir separuh dari 24 jam yang saya miliki dihabiskan berinteraksi dengan anak-anak. Dan mirisnya fakta yang saya temukan di lapangan, anak-anak sekarang sangat jauh dari pola asuh orang tua yang diharapkan karena para generasi zaman sekarang atau yang biasa disebut sebagai generasi milenial cenderung memiliki pemikiran yang instan, malas bergerak (mageran), dan tak mampu bertahan dalam dunia yang keras akibat pola asuh yang cenderung memanjakan.
Dari beberapa pengamatan yang saya lakukan, pola asuh yang cenderung dikatakan memanjakan ini salah satunya disebabkan oleh orang tua yang bekerja dan melupakan kewajibannya yang harus mendidik anaknya di rumah. Orang tua zaman sekarang kebanyakan lebih memilih memberikan apapun yang diinginkan oleh anak secara cepat dan instan tanpa meminta mereka untuk berusaha terlebih dahulu. Seperti memberikan anak handphone agar dia berhenti menangis dengan seketika. Hal tersebut dilakukan karena para orang tua enggan repot-repot membujuk anaknya untuk tenang dalam waktu yang lama. Pola asuh seperti itulah yang akhirnya berdampak pada pembentukan karakter anak dan merugikan dirinya di masa mendatang.
Dari berbagai pengalaman yang saya temui dan ilmu yang saya pelajari secara keseluruhan, dapat saya simpulkan bahwa tidak ada tips atau teori apapun bahkan ilmu psikologi sekalipun yang dapat memberikan pembelajaran mengenai pola asuh anak terbaik karena pada dasarnya pola asuh anak yang terbaik akan terwujud jika orang tua terlibat secara langsung untuk belajar dan mengerti karakteristik anak. Dalam proses belajar memahami karakteristik anak, secara tidak langsung akan tercipta pola asuh anak yang terbaik atau sesuai dengan anak tersebut. Karena pada dasarnya, tidak ada pola asuh anak yang dapat dijadikan tolok ukur keberhasilan mengasuh anak, yang ada hanyalah bagaimana orang tua terus belajar untuk berproses menjadi orang tua yang baik.
Untuk mengetahui karakteristik anak, orang tua dapat menggunakan metode 3A (Asuh, Asih, Asah). Asuh berarti membina fisik anak dengan memastikan kebutuhannya mulai dari makanan, pakaian, dan tempat tinggal terpenuhi. Karena terpenuhinya gizi dan kenyamanan anak menjadi salah satu faktor yang memengaruhi pola pikir anak yang berdampak pada aspek kehidupannya. Asih berarti memberikan kasih sayang sesuai dengan kebutuhan emosi anak. Asah berarti membentuk skill atau kemampuan anak sesuai bidangnya masing-masing. Namun, dalam membentuk skill, ada satu hal yang benar-benar harus kita tanamkan, yaitu kemampuan leadership atau kemampuan kepemimpinan. Bukan hanya mampu memimpin orang lain namun, yang utama adalah memimpin dirinya sendiri.
Pembentukan skill leadership dapat dilakukan orang tua dengan memberikan anak mereka ilmu pengetahuan dan pengalaman. Mengapa demikian? Jawabannya sederhana, agar anak tidak mudah dikalahkan ketika berada dalam fase kehidupan yang sesungguhnya. Dengan ilmu yang anak dapatkan baik melalui sekolah formal maupun nonformal, dia akan memiliki panduan dalam hal membedakan antara yang baik dengan yang buruk. Sedangkan melalui pengalaman, dia akan dibentuk menjadi orang yang kuat dan mampu bertahan dalam kondisi apapun tak mudah goyah dan dikalahkan karena kemampuannya memilah antara yang baik dengan yang benar. Mengapa hal tersebut penting? Karena terkadang banyak orang yang pandai dalam berbagai ilmu namun, pada akhirnya terjerumus akibat tak lihai dalam membedakan mana hal yang baik dan benar untuk hidupnya. Hal tersebut memang kenyataannya sulit karena baik dan benar merupakan sesuatu yang abu-abu atau sangat tipis bedanya. Oleh sebab itu, penting sebagai orang tua mengasah kemampuan anak dengan ilmu dan pengalaman.
Banyak teori yang dapat dipelajari mengenai bagaimana pola mengasuh anak. Namun, saya pribadi lebih setuju jika sebelum memilih satu teori untuk diaplikasikan, kita harus tahu dulu bagaimana karakteristik anak sendiri. Dan dari berbagai teori, saya memilih teori mengasuh anak dari Ali bin Abi Thalib karena teori beliau yang terkenal dengan 7 x 3 sangat relate dengan karakteristik anak yang berada di zaman industri 5.0 sekarang.
a. 7 tahun pertama (0-7 tahun)
Pada tahap ini, anak diperlakukan layaknya mereka raja. Maksudnya orang tua mengasuh anak dengan sikap yang lemah lembut, tulus, dan sepenuh hati. Namun, bukan berarti memanjakannya. Tetaplah bersikap tegas dengan penuh kasih sayang. Jika ingin memberitahukan sesuatu, gunakan bahasa sederhana dan positif yang mudah dimengerti tanpa kekerasan yang menyerang psikologisnya. Seperti menggunakan kata “jangan” yang merupakan kata negatif. Dan ketika anak mendengarnya, bukan mematuhinya justru sebaliknya karena pada dasarnya, otak manusia tidak dapat memeroses kata-kata negatif. Serta hindari juga menyerang pribadinya seperti melabelinya dengan “anak nakal”, cukup beri tahu kesalahannya dan arahkan dia menjadi pribadi yang lebih baik.
b. 7 tahun kedua (7-14 tahun)
Pada tahap ini, mendidik anak seperti seorang tawanan yang dikenakan berbagai macam aturan berisi kewajiban dan larangan, tetapi mereka juga mendapatkan haknya secara proporsional. Orang tua mengenalkan anak tentang hak dan kewajiban agar anak mulai memahami arti tanggung jawab dan konsekuensi atas perbuatan apapun yang dia lakukan.
c. 7 tahun ketiga (14-21 tahun)
Pada tahap ini, jadikanlah anak sebagai sahabat agar dia dapat terbuka dalam segala hal pada orang tua. Diusia anak yang semakin tumbuh besar menuju remaja dan akhirnya dewasa, arahan orang tua sangatlah mereka perlukan. Fase transisi atau masa pencarian jati diri ini yang diperlukan anak adalah diskusi bukan intimidasi. Melalui diskusi, orang tua dapat melatih kemampuan berpikir kritis anak serta membentuk kemampuan literasi dan numerasinya sesuai dengan dasar pendidikan industri 5.0. Dengan kemampuan literasi dan numerasi yang baik, tentu anak akan memiliki kemampuan memahami dan mengaplikasikan apapun yang dia pelajari dalam kehidupannya sehingga dia dapat memproteksi dirinya dengan baik dari berbagai berita atau hal apapun yang terindikasi hoaks.
Pola asuh anak yang diterapkan orang tua pada anaknya berbeda-beda sesuai dengan pemahaman dan harapan orang tua terhadap anaknya. Tapi satu hal yang pasti, sebagai orang tua haruslah terus belajar karena satu kali orang tua salah dalam mengasuh anak, maka efeknya seumur hidup bagi anak. Jadi, bijaklah sebagai orang tua dalam menentukan pola asuh anak. Teruslah belajar dan melakukan perbaikan karena pada dasarnya dalam mengasuh anak tidak dibutuhkan orang tua yang sempurna melainkan orang tua yang selalu mengupgrade dirinya menjadi sosok orang tua yang lebih baik setiap harin
ya. (ZR/IAN)