Perangi Radikalisme melalui Karya Sastra
Cerita telah menjadi suatu tradisi budaya yang berkembang jauh sebelum ditemukannya catatan sastra. Penelitian Da Silva dan Tehrani (2016) menunjukkan secara ilmiah bahwa cerita rakyat tertua di dunia dapat ditelusuri sampai ke zaman perunggu. Hal ini berarti, cerita rakyat tersebut telah ada setidaknya sejak 6000 tahun yang lalu. Seni bercerita pun saat ini berkembang sangat pesat. Jika ditelusuri ke budaya daerah di Indonesia, akan dikenal berbagai jenis tradisi lisan yang utamanya menggunakan cerita sebagai media untuk menyampaikan pesan. Di Kalimantan Selatan dikenal istilah mamanda, lamut, dan madihin yang kesemuanya itu menggunakan seni bercerita sebagai dasar dari pertunjukkan.
Mengingat kondisi saat ini, dengan isu radikalisme yang semakin menyeruak disekitar kita, maka penting kiranya untuk melihat seni bercerita sebagai media yang berpotensi menyebarkan paham bahaya radikal dan terorisme ke masyarakat. Terinspirasi dari artikel NU Online (nu.or.id) dengan judul “Melawan Radikalisme dengan Cerita”, akhirnya tergerak hati untuk menulis artikel dengan topik yang serupa. Melalui artikel ini akan dipaparkan sedikit, contoh mengenai cerita yang menyuguhkan radikalisme sebagai alur utamanya.
Ulfa (2016) menulis dalam papernya ulasan mengenai dua buah novel Indonesia kontemporer yang mengangkat tema terorisme. Novel pertama yang diulas adalah karya Damien Dematra dengan judul “Demi Allah, Aku Jadi Teroris”. Menurut ulfa, novel ini berusaha mengangkat alur cerita mengenai pemahaman jihad di dalam islam yang salah. Akhir cerita yang happy ending, dengan tokoh utama cerita yang bertindak sebagai teroris kemudian bertobat dan menjadi pejuang yang menyampaikan ajaran islam sebagai agama cinta damai. Sudut pandang pada novel ini berusaha menjelaskan bahaya pemahaman yang salah tentang radikalisme dari sisi pelaku terorisme.
Adapun novel kedua yang ditelaah oleh Ulfa (2016) dalam papernya adalah “Naksir Anak Teroris” karya Ditta Arieska. Dalam novel ini diceritakan mengenai terorisme dari sudut pandang korban yang terlibat dengan kasus atau peristiwa terorisme. Ayah Ison dan Ison dalam novel tersebut dituduh sebagai anggota kelompok teroris. Hal ini menunjukan pesan anti terorisme berupa kerugian yang dialami banyak pihak, termasuk orang-orang yang tidak tahu dan tidak terlibat sama sekali.
Nah demikian artikel singkat ini yang memperkenalkan beberapa contoh karya sastra bertemakan terorisme. Selain kedua novel seperti yang disebutkan di atas, ada sejumlah karya lain yang terbit lebih dahulu seperti “Pengantin Teroris: Memoar Jihad N.A.” karya Abu Ezza dan “Istriku Teroris” karya Yasmina Khadra. Selamat berburu karya sastra, semoga pemahaman kita akan bahaya terorisme semakin utuh, dan membangkitkan jiwa kita untuk menyebarkan pesan-pesan perdamaian. [Roni/AJP]