Merdeka dari Wabah Intoleransi
Wabah intoleransi sangat berbahaya dalam hubungan kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara. Sikap intoleran yang tidak mau memahami, berlapang dada, dan memberdayakan pihak lain –bagaikan duri dalam daging.
Sebagai negara berdaulat, Indonesia sudah merdeka dan bebas dari segala bentuk perang fisik. Akan tetapi, perang terhadap virus, paham, dan keyakinan yang keras, radikal, dan intoleran sama sekali belum bisa dikatakan bebas. Bahkan dalam konteks tertentu, Indonesia sedang berperang melawan virus-virus yang merusak hubungan harmoni masyarakat.
Ancaman bersifat fisik: penyerangan, revolusi, kudeta, dan perang –dalam sejarah Indonesia masih bisa ditangkal. Akan tetapi, ada ancaman bersifat non-fisik berupa ajaran, paham, atau doktrin radikalisme yang tidak kalah berbahayanya dengan ancaman fisik itu. Virus intoleransi itu menjalar secara pasti, merasuki otak para sebagian masyarakat, diorganisir secara massif dan terstruktur.
Inilah salah satu ancaman terbesar yang menghantui Indonesia. Belum lagi, virus radikalisme –sebagai bagian tak terpisahkan dari intoleransi –bersifat acak, sulit dideteksi lokus, aktor, sebab-musabbanya, ditambah agama sebagai bagian tak terpisahkan dari manusia sering dibawa-bawa sebagai alat legitimasi untuk melakukan tindakan intoleran. Jika kita berhasil dalam perang fisik, seharusnya hal yang sama juga dalam perang melawan virus intoleransi.
Dalam konteks menjalin hubungan yang damai dalam kemasyarakatan, berbangsa, dan bernegara, salah satu refleksi yang harus dijadikan tugas bersama adalah membebaskan diri dari belenggu virus intoleransi. Tugas ini merupakan tugas dan tanggung jawab bersama. Kerja-kerja kolektif untuk menangkal virus ini harus dijalankan dalam semua lini.
Dua Macam Kemerdekaan
Kemerdekaan sejatinya adalah kebebasan (freedom). Bebas untuk berpikir, bertindak, menentukan nasib sendiri; bebas menikmati hidup, lingkungan yang damai, keluarga yang guyup dan harmonis. Artinya inti terdalam kemerdekaan adalah adanya kebebasan. Tidak ada kebebasan sama dengan tidak ada kemerdekaan.
Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf besar dari Jerman, membagi kemerdekaan kepada dua kelompok, yakni freedom from (bebas dari) dan freedom to (bebas untuk). Dalam tahap selanjutnya, gagasan ini dikembangkan oleh Isaiah Berlin (1909-1997).
Freedom from (bebas dari) merupakan kebebasan paling hakiki, yang setiap manusia selalu mendambakannya. Freedom from artinya bebas dari campur tangan dan intervensi orang lain. Dalam konteks negara, bebas dari campur tangan dan intervensi negara asing. Freedom from adalah kebebasan negatif, artinya menegasikan segala macam –apapun itu –yang bisa merusak diri, individu, atau negara.
Manifestasi dari freedom from adalah negara dan warganegara harus bebas dari segala kelaparan, kemiskinan, gangguan keamanan, aksi terorisme, penghinaan, ujaran kebencian, hoax, dan segala macam bentuk kejahatan yang bisa merusak kesejahteraan umum.
Virus intoleransi yang berujung pada tindakan radikalisme dan aksi terorisme adalah ancaman terhadap freedom from. Jika tidak ditanggulangi sejak dini, akan merusak kemerdekaan bangsa ini untuk menikmati kehidupan yang nyaman dan suasana yang aman.
Jika freedom from sudah terlaksana maka freedom to (bebas untuk) bisa diwujudkan. Freedom to adalah kebebasan untuk bertindak, berpikir, dan hidup sesuai dengan keinginan kita. Freedom to merupakan kebebasan bersifat positif. Artinya segala macama hak yang kita miliki bisa kita afirmasi.
Kebebasan untuk menikmati hidup damai, akses sekolah, lingkungan yang aman, dan menentukan masa depan yang cemerlang adalah bagian dari bentuk kemerdekaan kedua ini.
Dari Merdeka Menuju Damai
Intoleransi adalah salah satu perusak dan penghancur dua macam kemerdekaan (dari dan untuk) itu. Ia secara diam-diam bisa menggerogoti rasa nasionalisme setiap anak bangsa. Dengan paham, bahwa orang yang berseberangan dengan dirinya adalah musuh; dengan keyakinan bahwa pemerintahan dan sistem politik sekarang adalah taghut; dengan doktrin bahwa pancasila dan UDD 1945 tidak sesuai dengan hukum Tuhan, seseorang bisa saja menyerang, membuat terror, dan menyebar ketakutan.
Kemerdekaan tanpa dua kebebasan di atas itu bukanlah kemerdekaan. Dengan aksi terorisme orang tidak dengan nyaman bekerja; dengan ada ancaman, orang tidak bisa mencicipi kehidupan yang damai; dengan menyebar ketakutan, manusia tidak bisa beraktivitas dengan aman.
Mewujudkan Indonesia damai tidak bisa kecuali melawan wabah intoleransi dan segala turunannya. Kita harus memupuk semangat kita bersama untuk melawan wabah intoleransi demi terwujudnya Indonesia damai. Ini adalah tantangan bagi kita semua. Indonesia mungkin sudah terbebas dari belenggu penjajahan, akan tetapi kita belum sepenuhnya terbebas dari belenggu virus intoleransi.
Oleh: Hamka Husein Hasibuan
Editor : Hafizah Fikriah Waskan