Menjadi Remaja Berbeda
Apa yang pertama kali kalian pikirkan ketika mendengar kata “remaja?” Ya, pastinya muda, gaul, gaya, hepi-hepi, kenakalan di masyarakat, masa transisi, masa pencarian jati diri, dan lainnya. Rata-rata kebanyakan orang akan menjawab seperti itu, tapi pernahkah kalian berpikir bahwa tidak semua remaja atau hampir 100% anak usia remaja memiliki pola pikir hidup hanya untuk bersenang-senang dan coba-mencoba. Karena pada kenyataannya, di dunia nyata atau realitanya banyak juga yang memiliki pemikiran di atas usia anak remaja seharusnya, salah satunya “dia”. Dia memiliki pemikiran yang out of the box, pemikiran yang begitu terbuka dan kritis dan pemikiran seperti itulah yang sangat diperlukan di era industri 4.0 saat ini. Sebuah pemikiran bak ikan salmon yang berenang dengan arah yang berbeda, tapi bukan berarti pemikirannya melawan arus melainkan dia memiliki pemikiran sendiri berdasarkan analisisnya terhadap pengalaman maupun lingkungan sekitarnya yang berpengaruh terhadap responnya dalam menghadapi suatu masalah. Dengan kata lain, berbeda bukan berarti salah sama bukan berarti seirama.
“Sari, liburan besok kita ke Mall yuk, katanya banyak barang branded yang lagi diskon!” ajak Rani.
“Iya Sar, besok juga ada penayangan film terbaru dan perdana pasti seru banget habis nonton kita lanjut shopping,” timpal Yuni.
Evan tak mau kalah walaupun dia laki-laki satu-satunya, “Terus nanti kita pulangnya makan di cafe baru milik tante aku makanannya enak-enak, pasta dan steaknya recomended banget.”
Dengan wajah datar Sari hanya menjawab dengan kalimat “Maaf guys aku gak bisa ikut soalnya sudah ada rencana bertualang mendaki bukit bersama kedua orang tuaku. Ehmm, atau kalian saja yang ikut aku biar rame, gimana?”
“Mendaki gunung?” tanya Yuni.
“Iya jadi kita sama-sama mendaki bukit trus sekalian kita camping gitu, serukan? Kalau dilihat dari wajah kalian pasti belum pernah camping. Nah makanya kalian bisa coba bersama aku pasti jadi berkesan deh!” ajak Sari.
(Dengan senyum pahit dan jalan perlahan mundur) mereka menjawab, “Tidak, terima kasih.”
Dia berbeda dari anak remaja usia SMP kebanyakan. Disaat anak seusianya meminta jalan-jalan ke mall, menghabiskan waktu makan dan ngobrol bareng teman di cafe, maupun menonton film baru di bioskop, atau hidup bergaya ala sultan dengan shopping sepuas-puasnya. Dirinya justru mengajak kedua orang tuanya untuk berlibur bersama.
“Nak, liburan nanti kamu mau ke mana? Apa kamu mau jalan-jalan keluar daerah seperti ke Kotabaru ya sekaligus silaturrahmi dengan keluarga dan teman-teman kita dulu sewaktu tinggal di sana, bagaimana?” ucap ibu.
“Tidak ah bu. Sari maunya mendaki bukit aja. Itu loh bu, bukit Matang Kaladan yang katanya Raja Ampatnya Kalimantan Selatan. Ya walaupun kita belum ke sana paling tidak copyannya aja dulu dicoba.”
Bukan tempat liburan yang didatangi menggunakan pesawat kelas bisnis dan tinggal di hotel yang berada di pinggir pantai dengan pelayanan mewah maupun liburan ke luar negeri untuk menikmati butiran salju atau sekedar menikmati guguran bunga sakura.
Liburan yang dia inginkan adalah bertualang. Menjelajahi setiap jengkal keindahan alam di daerah tempat tinggalnya yang menurutnya itu surga dunia. Baginya, alam dengan dirinya tak bisa dipisahkan karena alam membuat dia belajar banyak hal tentang bagaimana hidup yang pastinya tidak dapat dirasakan ataupun dimiliki anak remaja lain seusianya.
“Kamu yakin ingin mendaki dan camping di bukit mana tadi?”
“Matang Kaladan. Yakinlah ayah toh tempatnya aman kok, ayah dan ibu tinggal mempersiapkan semuanya saja seperti biasa.”
“Memangnya kamu tidak mau liburan sama teman-teman barumu di SMP? Ya sekalian biar kamu bisa lebih akrab dengan mereka. Soalnya kamu dari SD teman dekatnya tidak banyak, cuman Cici saja. Ayah cuman takut nanti kamu jadi siswa yang kurang bergaul dan dikira sombong.”
“Males yah. Mereka maunya liburan ke Mall, selain menghabiskan banyak uang, tempatnya juga kurang asyik yah.”
“Ya gapapa nak sekali-sekali, nanti ayah kasih uang jajannya. Memangnya kamu gak malu apa masa liburan dan jalan-jalan sama orang tua terus, nanti kamu dikira anak manja lagi.”