free page hit counter

Menjadi Guru Honorer

Pagi-pagi sekali, Livia sudah mematut dirinya di depan cermin. Seragam kuliahnya kini dia pakai kembali meski tak dilengkapi dengan jas almamaternya. Kemeja putih dengan rok span hitamnya seolah menjadi pakaian khasnya saat mengantarkan surat lamaran maupun menghadiri panggilan pekerjaan.

“Livia…sarapan dulu.”

“Iya bu sebentar,”teriak Livia dari kamarnya.

Livia begitu antusias menyiapkan dirinya agar ketika berhadapan langsung dengan kepala sekolah nanti penampilan dia terlihat meyakinkan.

Penampilan seseorang baik dari cara maupun gaya berpakaiannya, kerapian, dan lainnya menunjukkan kepribadian seseorang tersebut terutama saat menghadiri panggilan pekerjaan.

Jika seseorang berpenampilan rapi dengan gaya berpakaiannya sederhana, tentu akan membuat orang-orang yang melihatnya nyaman dan menganggap bahwa seseorang tersebut serius dengan perkerjaan tersebut.

Tapi sebaliknya, jika seseorang berpenampilan sembarangan dengan gaya berpakaian tak sesuai dengan tempatnya, tentu orang akan menganggap seseorang tersebut tidak serius bahkan meremehkan pekerjaan tersebut.

Apalagi, Livia melamar pekerjaan sebagai guru. Sosok yang digugu dan ditiru, otomatis berpenampilan rapi dan sopan merupakan suatu kewajiban.

“Bu, bagaimana menurut ibu penampilan Livia?”

“Bagus dan rapi juga kok. Percaya diri aja, iya kan yah?”

“Iya Nak. Pakaian kemeja memang pantas untuk menghadiri panggilan kerja selain rapi juga sopan.”

“Iya sudah. Doakan Livia diterima ya bu, yah (sambil bersalaman dan mencium tangan ayah dan ibunya).”

Menjadi seorang guru, dituntut untuk menguasai berbagai macam keahlian atau kompetensi terutama guru sekolah dasar. Mulai dari menguasai berbagai ilmu pengetahuan, keterampilan seperti menari, menyanyi, memasak, dan lainnya, hingga dalam urusan berpenampilan (kepribadian) dan membangun hubungan baik dengan orang-orang sekitar (sosial).

***

 

“Permisi.”

“O ya silakan masuk dan duduk di sini (sambil mempersilakan masuk dan duduk di ruang kepala sekolah).”

“Mba ini yang kemarin saya telepon dan sms ya?”

“Benar, Pak.”

“Jadi begini mba, mba bersedia tidak menjadi walikelas tiga B menggantikan guru sebelumnya?”

“Menjadi walikelas tiga pak? Bapak yakin? Saya kan baru saja lulus pak, belum ada pengalaman untuk menjadi walikelas.’’

“Iya mba, saya tahu. Tapi setelah melihat transkrip nilai mba ditambah dengan pengalaman menjadi guru les, saya yakin dengan kemampuan mba.”

Menjadi lulusan terbaik pertama secara otomatis Livia memiliki nilai yang paling tinggi dari ratusan mahasiswa yang lulus tahun itu di universitas negeri Luisa Maesa.

Ditambah pengalamannya di lapangan yang sejak kuliah sudah mengecap kerasnya dunia kerja. Dengan sejumlah prestasi tersebut sepertinya tak ada alasan bagi bapak kepala sekolah untuk meragukan kemampuannya.

“Kalau memang bapak yakin dengan kemampuan saya, maka saya siap kok pak. Tapi maaf sebelumnya pak, bapak tadi mengatakan bahwa saya menggantikan walikelas yang terdahulu, kalau boleh saya tahu, memangnya walikelas sebelumnya kenapa pak?”

“Guru sebelumnya kabur dan menghilang entah ke mana karena sudah korupsi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah).”

Mendengar kalimat tersebut Livia sontak kaget. Dia tak menyangka profesi yang dia anggap sangat mulia bahkan sampai disebut sebagai “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” bisa melakukan hal sekotor itu.

Apa mungkin karena label “Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” yang berarti pembenaran bahwa guru bekerja secara sukarela sedangkan dalam realita, mereka juga memerlukan uang atas jasa yang mereka berikan.

Tidak heran jika kualitas guru negeri ini seperti itu maka generasi berikutnya mungkin saja akan menormalisasi tindak korupsi sebagai hal yang wajar atau biasa.

Dan yang paling membuat Livia tidak habis pikir adalah guru yang melakukan tidak korupsi merupakan guru yang berstatus pegawai negeri bersertifikasi yang artinya secara penghasilan sudah terjamin.

Tapi bagaimana mungkin beliau bisa dan tega melakukan hal tersebut apalagi yang dikorupsi adalah uang untuk membantu kebutuhan belajar siswa. Apakah gaji guru berstatus pegawai negeri terlalu rendah? Atau memang gaya hidup dan pola pikir guru tersebut yang berlebihan?

“Karena mba sudah setuju maka saya akan lanjutkan membahas mengenai gaji mba di sini. Gaji guru honorer diambilkan dari dana BOS, sehingga jumlahnya tidak bisa terlalu banyak. Apalagi jumlah guru honorer di sekolah ini cukup banyak, apakah mba bersedia jika digaji sebesar dua ratus lima puluh ribu per bulannya?”

Mendengar hal tersebut Livia diam mematung bingung harus menjawab apa. Membayangkan gaji sebesar itu berarti pekerjaannya dari pukul 07.00 pagi hingga 14.00 WITA hanya dihargai sebesar delapan ribu saja.

Jika mengingat berapa jumlah uang yag dikeluarkan orang tuanya untuk menguliahkannya hingga menjadi seorang sarjana rasanya dari sekarang hingga meninggal dunia pun dia tidak akan bisa mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan oleh orang tuanya.

Dan yang membuat Livia tak habis pikir lagi adalah untuk lulusan sarjana diberi gaji seperti itu rasa-rasanya begitu merendahkan harga dirinya. Mengapa Livia bisa berpikir demikian?

Karena jika dibandingkan dengan gaji ayahnya yang hanya lulusan SMA saja mencapai jutaan, dan jika dibandingkan lagi dengan gajinya menjadi guru les privat Nana lima ratus ribu dalam satu bulan dan itu pun tidak penuh memberikan les membuat Livia benar-benar merasa direndahkan.

Entah apa yang salah dengan sistem pendidikan di negeri ini. Menuntut para pendidik untuk memberikan pelayanan dan pengajaran terbaik tapi kesejahteraan hidupnya tidak terjamin dan stabil.

Seolah usaha para guru meraih gelar tanpa menggunakan biaya dan tenaga, ibarat debu saja tak berbekas. Jika para lulusan guru diperlakukan seperti ini, sampai kapan dunia pendidikan negeri ini maju dan berkembang?

Bagaimana kualitas pendidikan negeri ini maju, jika gurunya saja tidak fokus mengajar melainkan memikirkan besok makan apa, bukan memikirkan bagaimana pembelajaran untuk besok.

Sedangkan kemajuan sebuah negara diawali dengan adanya pembangunan, dan pembangunan itu dilakukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia berkualitas tentunya didapat dari pendidikan yang berkualitas pula. Jadi kunci utama dari segala kemajuan di dunia adalah pendidikan.

Harga tentunya takkan membohongi kualitas. Dengan harga guru dua ratus lima puluh ribu ya dapat dipastikan bagaimana kualitas pengajarannya kepada siswa.

“Bagaimana mba?”

Livia tiba-tiba saja melontarkan jawaban diluar perkiraan. Logikanya berkata bahwa hal tersebut adalah sebuah penghinaan profesi dan juga harga dirinya namun, hati nuraninya mengatakan hal yang berbeda.

“Baik pak saya setuju, karena niat saya dari awal ingin menjadi guru honorer di sini adalah mencari pengalaman. Jadi terima kasih atas kesempatan yang sudah bapak berikan dan saya berusaha bekerja sebaik mungkin.”

Baginya sebuah perubahan besar tentu harus dimulai dari hal yang kecil terlebih dahulu. Berkaca dari niat awalnya yang ingin menjadi guru honorer untuk mencari pengalaman dan membagi ilmu yang telah dia dapatkan, apalagi di sekolah tempat dia belajar dahulu membuatnya menerima penawaran tersebut.

Meskipun kata setujunya tersebut membuat dirinya menerima gaji dengan nominal yang jaaaauuuuuh sekali di bawah UMR (Upah Minimum Regional). Akan tetapi, keyakinannya terhadap ketulusan yang dia miliki, dia percaya bahwa Tuhan akan membantunya terutama dalam mengubah nasib dirinya dan siswanya kelak. Keputusan Livia tersebut juga mengisyaratkan pada dirinya bahwa dia harus mencari sumber penghasilan lain untuk kestabilan hidupnya.

Ditengah perbincangan mereka, tiba-tiba seorang perempuan berusia senja memotong permbicaraan dan dengan percaya diri menasihati Livia tanpa meminta persetujuan kepada pimpinan tertinggi di sana.

“Kalau kerja di sini perilakunya harus baik. Mulutnya jangan suka gosip, cerita di sekolah ini disebar-sebarkan kemana-mana. Kamu harusnya bersyukur ribuan orang mengirim lamaran ke sini tapi ternyata kamu yang diterima. Betulkan pak?”

“Iya bu, ini yang akan menggantikan bu Karlinah walikelas tiga .”

“O ya perkenalkan saya ibu Helena walikelas enam A.”

Melihat perilaku ibu tersebut, Livia hanya bisa angguk-angguk dan tersenyum saja. Meskipun dalam hatinya muncul pertanyaan apakah pantas seorang guru berperilaku seperti itu?

Guru yang merupakan pembentuk karakter para generasi muda berperilaku tak sopan bak preman saja. Mulai dari masuk ruangan kepala sekolah tanpa permisi, memotong pembicaraan orang, hingga meghakimi orang lain dengan seenaknya.

Livia mulai mempertanyakan apakah sosok guru yang seperti itu kelak dia temui setiap harinya? Sanggupkah dia bersosialisasi dengan orang-orang yang tak bisa menghargai orang lain?

***

“Permisi bu, ini walikelas tiga B yang baru.”

“Mba Yunik, bawa masuk saja,” ucap bu Ine guru pendidikan agama islam.

“Ayo Livia masuk!”

Livia diperkenalkan dengan anak-anak kelas tiga B yang akan diajarinya nanti. Dengan ramah dan senyum manis Livia memperkenalkan dirinya dan dia bercerita jika dulunya dirinya juga bersekolah di sana dan sekarang terjadi perubahan yang begitu banyak pada sekolah itu.

“Selamat pagi semua. Perkenalkan saya Livia Ramadhani, kalian bisa panggil saya dengan ibu Livia. Saya akan menjadi walikelas tiga B menggantikan bu Karlinah walikelas sebelumnya.”

Tepuk tangan dan suara gembira terdengar begitu kuat di telinga. Livia berharap bahwa hal tersebut merupakan awal yang baik untuk ke depannya ketika dia sudah menjadi walikelas mereka.

Perkenalan berlanjut, Livia masuk ruang guru dan mencoba berkenalan. Dan Livia tak menyangka jika dia bertemu dengan sosok pahlawan yang sangat berjasa membimbingnya hingga dia berada diposisi ini menjadi guru juga seperti beliau.

“Bu, ibu masih ingat dengan saya?”

“Saya Livia bu siswa ibu dulu.”

“Oh ya ibu ingat, jadi kamu sekarang jadi guru?”

“Iya bu alhamdulillah.”

Ibu Lusi merupakan guru yang dulu mengajari Livia bahasa Indonesia meskipun beliau tak pernah menjadi walikelasnya, akan tetapi Livia masih ingat bagaimana beliau begitu ramahnya dalam memberikan pelajaran bahasa Indonesia.

Ternyata sekolah yang menjadi tempat pertama dia menimba ilmu kini menjadi tempat dia kembali untuk mengabdikan ilmunya dan menjadi tempat pertemuan dirinya dengan orang yang sangat berjasa dalam kesuksesan yang dia raih sekarang.

“Kamu siapa?”

“Saya Livia, yang menggantikan ibu Karlinah walikelas tiga B.”

“Oh, lulusan mana? Universitas Ayla Yuana (UYA)?” ucap bu  Ela dengan sinis.

“Bukan bu, lulusan Universitas Luisa Maesa (ULM).”

Pertanyaan dan pandangan sinis dari bu Ela beserta 2 orang temannya yang lain, yaitu bu Shita dan bu Yuli, membuat Livia agak sedikit kurang nyaman. Mereka bertiga merupakan guru honorer di sana namun berasal dari Universitas Ayla Yuana.

Bagi mereka, perbedaan yang melekat di diri saya apalagi dengan prestasi yang saya miliki bisa menjadi ancaman untuk mereka. Sampai kapan normalisasi sikap meremehkan dan menyepelekan orang lain dianggap biasa kepada orang-orang yang berprestasi di negeri ini bisa memudar?

Jika orang-orang berprestasi di negerinya saja tidak dihargai bahkan dianggap sebagai ancaman, lalu kapan negeri ini bisa maju oleh generasi mudanya jika prestasi dianggap sebagai perlawanan terhadap sistem.

Respon ketiga guru tersebut membuat Livia sedikit heran, karena bukankah profesi guru terkenal dengan keramahan dan kesabarannya? Itulah yang kerap kali pembeda profesi guru dengan profesi lainnya, karena pada dasarnya guru harus memiliki kemampuan dalam bersosialisasi atau menjadi pribadi yang terbaik di lingkungan, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan masyarakat sekitar.

“Salam kenal bu, dan sepertinya saya akan sering meminta bantuan kalian karena kan kalian lebih senior di sini.”

“Iya tenang saja, di sini mah santai.” ucap bu Ela.

Ketiga guru tersebut memiliki karakter yang berbeda-beda. Bu Ela dari luar memang terlihat sinis, tetapi dia sosok yang realistis apa yang dia katakan sesuai dengan kenyataan meskipun hal tersebut kurang sopan.

Bu Yuli terlihat dari luar begitu pendiam, namun pandai sekali dalam urusan adu domba, sehingga jika di depannya jangan sampai membicarakan hal-hal negatif tentang guru lain kalau tidak ingin jadi korban.

Sedangkan bu Shita, dia merupakan guru yang Livia rasa paling parah diantara bertiga. Pandai menasihati orang lain tentang agama dan kebaikan tapi dirinya sendiri sangat jauh dari hal itu.

Tidak menghargai orang lain, karena Livia pernah menemui dia berkelahi dengan guru pendidikan agama islam yang notabene usianya lebih tua daripada dia. Bukan hanya itu saja, dia memiliki sikap bermuka dua di depan baik, tetapi di belakangnya bisa menjatuhkan orang tersebut. Dan sikap melengkapi itu semua adalah suka iri dan pelit.

Akan tetapi, bu Ela dan bu Yuli takut kepadanya dan selalu mendukung apapun yang dia lakukan meski itu adalah perbuatan yang salah. Entah apa yang sudah diberikan bu Shita kepada kedua guru itu hingga mereka begitu tunduknya.

Guru-guru ditemui Livia dengan beragam karakter yang luar biasa bertolak belakang dengan mind set orang-orang tentang guru mencerminkan bahwa kualitas guru di negeri ini masih rendah karena rata-rata profesi guru di negeri ini diisi oleh orang-orang cadangan.

Orang-orang cadangan di sini bukan berarti jelek melainkan orang-orang yang menjadikan profesi guru hanya sebagai cadangan ketika dia gagal yang terkenal dengan stigma “jadi guru aja deh”.

Stigma “jadi guru aja deh” merupakan hal yang salah dan menjadi salah satu penyebab profesi guru itu sendiri dipandang rendah. Untuk menghilangkan stigma itu, diperlukan sistem pendidikan yang menciptakan lingkungan kompetisi dalam profesi guru sehingga dengan sendirinya kualitas guru akan meningkat dan profesi guru menjadi terpandang.(ZR/IAN)

***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *