Mengingat Kembali Aksi Terosrisme Di Indonesia Bom Bali 2002
Kejahatan merupakan bagian kehidupan sosial dan tidak terpisahkan dari kegiatan manusia sehari-hari. Kejahatan selalu menjadi ancaman bagi kehidupan manusia, dimana dalam menentukan sumbernya tidak juga terbatas pada daerah tinggal orang miskin di kota-kota atau kelompok-kelompok minoritas tertentu. Salah satu bentuk kejahatan yang manusia perbuat adalah tindak pidana terorisme. Bermacam-macam aksi terorisme telah dilakukan manusia sepanjang sejarah sehingga terdapat empat tipologi terorisme yang pertama aksi terorisme dalam konteks perlawanan terhadap pemerintah, yang kedua kekerasan dan aksi terorisme yang didukung negara untuk menumpas lawan-lawan politik, yang ketiga aksi terorisme yang berkarakter gerakan ratu adil atau milenarianisme dan yang terahkir aksi terorisme atas nama agama.
Kata terorisme pertama kali dipopulerkan saat Revolusi Perancis, saat itu terorisme memiliki konotasi positif sebagai instrument pemerintahan di negara revolusioner guna memulihkan situasi/tatanan pemerintahan saat terjadinya kekacauan dan pergolakan anarkis dimasa peristiwa pemberontakan rakyat pada tahun 1789. Pada Abad ke-19 teroris muncul dari penganut anarki di Eropa Barat, Rusia dan Amerika Serikat. Mereka percaya bahwa jalan terbaik untuk perubahan sosial adalah menyusupkan seseorang ke dalam pemerintahan, dan pada tahun 1865-1905 beberapa raja, presiden, perdana menteri dan pejabat pemerintahan telah menjadi korban pembunuhan kaum anarki dengan senjata api atau bom, diantara aksi teroris yang terkenal yaitu pembunuhan Alexander II – Rusia, pembunuhan presiden Amerika (William McKinley pada tahun 1901), pembunuhan Raja Umberto dari Italia, pembunuhan presiden Perancis Antonio Canovas dan pembunuhan Franz Ferdinand pewaris tahta Austria di Sarajevo.
Aksi teror yang terjadi di Indonesia dikaitkan dengan lemahnya penguasa/pengawasan dari pemerintah berkuasa terhadap kelompok-kelompok tertentu yang sengaja ingin menciptakan suasana terror dalam masyarakat. Rangkaian tindakan teror akan muncul apabila situasi politik memberikan peluang kepada para pelaku untuk menyebarkan teror sehingga keinginan/kehendak politik teroris dapat dipaksakan kepada suatu pemerintahan yang tidak mempunyai sikap tegas menghadapi kekerasan (aksi teror tersebut). Semakin kuat kesan bahwa paksaan dengan jalan teror memungkinkan suatu negosiasi politik, semakin besar
muncul tindakan teror. Sebaliknya semakin meluas kesan dan pendapat umum bahwa paksaan secara fisik tidak akan ditolerir dalam suatu sistem politik, semakin kecil pula munculnya teror. Terbukti di Indonesia lemahnya kontrol pemerintah pusat sejak krisis
keuangan Asia 1997- 1999, dengan penggantian rezim otoriter Presiden Suharto pada tahun 1999, kemudian mantan Presiden Indonesia Megawati Sukarno Putri pada tahun 2002 berada dibawah tekanan dari partai-partai politik Islam, serta perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung dikalangan elit politik Indonesia untuk mengontrol pemerintah, mengakibatkan berkembangnya teologi Islam fundamentalis dengan lahirnya kelompok-kelompok radikal seperti Laskar Jihad dan Front Pembela Islam yang mengambil keuntungan dari banyak masalah internal negara Indonesia. Gambaran munculnya kelompok radikal di Indonesia dapat dilihat dari hasil investigasi Kepolisian Republik Indonesia dalam kasus Bom Bali I,
ditemukan bukti yang menunjukan bahwa adanya hubungan yang kompleks antara individu dan kelompok yang melakukan kekerasan dan terorisme global, setidaknya ada dua pola yang ditemukan dalam investigasi, diantaranya: Pertama, beberapa pelaku pengeboman adalah Alumni Pesantren Ngruki, dibawah pimpinan Abu Bakar Ba’asyir, yang diyakini sebagai pimpinan spiritual Jama’ah Islamiyah (JI) yaitu sebuah kelompok radikal di Asia Tenggara. Kedua, beberapa dari pelaku pernah tinggal di Malaysia selama periode pengasingan Abu Bakar Ba’asyir, ketika dia melarikan diri meninggalkan Indonesia dari pemerintahan Soeharto yang keras atau tegas terhadap para pemberontak negara. PBB sendiri sempat memasukkan organisasi Jamaah Islamiahdalam daftar teroris dunia, dan mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew malah lebih tegas menyebut nama Abu Bakar Ba’asyir sebagai pimpinan utama (Amir) dari organisasi tersebut, namun Abu Bakar Ba’asyir sendiri membantahnya dimana dia mengaku tidak mengenal organisasi Jamaah Islamiyah, kalaupun ada jabatan dengan nama Amir’ itu adalah sebagai Amirulah Mujahidin atau yang lebih
popular dikenal dengan Ketua ahlu halli wal aqdi Majelis Mujahidin Indonesia.
Dalam beberapa kasus pengeboman banyak ditemui bahwa media yang dijadikan sebagai suksesor aksi pengeboman adalah seseorang/ individu, dengan kata lain agar aksi pengeboman bisa berjalan lancar lebih baik menggunakan seseorang yang rela mengorbankan nyawanya agar aksi tersebut sukses. Dalam kasus bom Bali yang dilakukan oleh orang-orang muslim yang sebenarnya memiliki pemahaman agama yang baik, mendasarkan pemaknaan jihad dan mati syahid dipahami secara sempit.. mereka merasa apabila ia melakukan pengeboman yang melukai orang-orang yang dianggap sebagai orang kafir atau menyerang simbol-simbol kafir dan mereka meninggal maka mereka akan langsung masuk surga karena telah berjihad dan mendapatkan gelar mati syahid oleh sang pencipta. Pemahaman yang sempit inilah yang dijadikan oleh para pelaku pengeboman untuk melancarkan aksinya, Mati syahid lebih cenderung dikaitkan dengan jihad, dan pemahaman akan jihad yang sempit menjadikan seseorang bersikap radikal, pemaknaan mereka akan kata jihad adalah perang untuk menolong agama allah, sedangkan kata jihad sendiri memiliki dua pemahaman yang berbeda , jika ditinjau dari segi bahasa jihad berarti bersungguh-sungguh, sedangkan pemaknaan jihad adalah perang merupakan pemaknaan jihad secara syariat.
Dalam kasus Bom Bali 2002 misi dari para pelaku adalah untuk jihad dijalan allah, sebagaimana disampaikan oleh Ali Imron dalam bukunya10. “jika saya tertangkap, saya akan memperkuat apa yang telah mereka (Ali Ghufron, dan Imam Samudera) sampaikan, hal ini saya maksudkan agar dunia mengetahui bahwa pengeboman yang kami lakukan adalah dalam rangka jihad dijalan allah”. Jihad dan mati syahid menjadi hal yang sangat diinginkan oleh para pelaku bom Bali, dimana dari pelatihan yang mereka dapatkan ketika di Akademi Militer Mujahiddin Afghanistan membuat mereka sangat berharap memiliki tempat untuk mengimplementasikan apa yang telah mereka dapatkan, dengan kata lain mereka hanya menginginkan perang untuk mencapai mati syahid dalam rangka menolong jalan allah. Cara yang mereka lakukan sendiri sesuai dengan paham yang mereka yakini, dimana bagi mereka orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka, merupakan orang kafir, yang secara pemahaman islam, orang kafir adalah mereka yang boleh dibunuh.
Adapun motif-motif yang mendasari dilakukannya tindak pidana terorisme seperti ideologi, politik, ekonomi, memperjuangkan kemerdekaan, serta radikalisme. Aksi terorisme juga terjadi di Indonesia, salah satu wilayah yang terkena serangan aksi terorisme terbesar di Indonesia adalah pulau Bali pada tanggal 12 Oktober tahun 2002 berupa ledakan bom yang terjadi di Paddy’s Pub ,Sari Club (SC) di Kuta, dan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat di Denpasar. Insiden ini menyebabkan 202 orang meninggal dunia dan 209 orang luka-luka. Selang waktu 2 tahun tepatnya pada tanggal 1 Oktober tahun 2005 lagi-lagi pulau Bali menjadi sasaran terorisme bom Bali II, dimana 3 bom meledak di daerah wisata di Bali yaitu di Kafe Nyoman, Kafe Menega dan Restoran R.AJA’s di Kuta. Insiden ini menyebabkan 23 orang meninggal dunia dan 196 orang luka-luka. Upaya penanggulangan tindak pidana terorisme di Indonesia sendiri dilakukan baik oleh pihak Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Badan Pemerintahan seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) serta masyarakat sipil, dan seluruh elemen masyarakat6 yang dilakukan secara berencana, kehati-hatian dan bersifat jangka panjang, di Bali sendiri adapun upaya penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya aksi terorisme bom Bali I dan II baik dilakukan oleh Polisi Daerah Bali (Polda Bali), Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme Provinsi Bali (FKPT Provinsi Bali), Desa Adat Kuta, dan Desa Adat Renon yang terkena dampak langsung dari aksi terorisme bom Bali I dan II. (TIP/IAN)