Menangkal Terorisme Dan Paham Radikalisme Dalam Kehidupan Kampus
Sejatinya radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis. Radikalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada, ciri-cirinya adalah mereka intoleran atau tidak memiliki toleransi pada golongan yang memiliki pemahaman berbeda di luar golongan mereka, mereka juga cenderung fanatik, eksklusif dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.
Sedangkan terorisme menurut UU Nomor 15 Tahun 2003, adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas negara.
Penanganan radikalisme diatur melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 dan Permenristekdikti Nomor 55 Tahun 2018 yang mengamanahkan kepada perguruan tinggi untuk ikut terlibat dalam penangkalan radikalisme. Pentingnya Perguruan Tinggi turut aktif menangkal radikalisme karena sivitas akademika yakni dosen, tenaga kependidikan, dan mahasiswa secara sendiri- sendiri atau bersama-sama dapat memiliki pemahaman, sikap dan tindakan anti-radikalisme. Jika secara pribadi dan bersama-sama unsur sivitas akademika ada yang terlibat paham radikalisme, maka secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan dan menjatuhkan nama baik institusi. Mengapa bisa merugikan dan menjatuhkan nama institusi, karena seseorang yang terkena paham radikalisme dalam benaknya, sikapnya dan tindakannya selalu tidak sejalan dengan norma-norma kehidupan dan kebangsaan Indonesia yang sudah ditetapkan. Pribadinya merasa yang paling benar dibandingkan dengan pemahaman, sikap dan tindakan orang lain, baik.
Seseorang atau kelompok radikalis dapat mengalami perubahan menggunakan cara-cara ekstrim, Dalam kekerasan ekstrim melalui aksi teror dipengaruhi banyak hal. Mulai dari pengaruh faktor yang bersifat internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan penjajahan. Selain itu juga dipengaruhi faktor domestik seperti persepsi ketidakadilan, kesejahteraan, pendidikan, kecewa pada pemerintah, serta balas dendam. Di luar faktor internasional dan domestik, faktor lainnya adalah faktor kultural, yaitu karena pemahaman agama yang dangkal, penafsiran agama yang sempit dan tekstual, dan indoktrinasi ajaran agama yang salah.
Perguruan tinggi merupakan satuan penyelenggara pendidikan tinggi sebagai tingkat
lanjut dari jenjang pendidikan menengah di jalur pendidikan formal. Hal ini sesuai dengan pengertian perguruan tinggi dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 19 Ayat 1 yang menyatakan bahwa perguruan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor. Peserta didik dilingkungan Perguruan Tinggi disebut dengan mahasiswa. Lingkungan kampus dan mahasiswa sebenarnya lingkungan yang tertutup untuk kegiatan yang bersifat radikal. Seperti diketahui bahwa sebenarnya lingkungan kampus merupakan tempat dimana sivitas akademika menimba ilmu dan pengetahuan, tempat pengkajian kegiatan ilmiah, serta kegiatan akademik dan non akademik mahasiswa yang bersifat positif. Paham radikal
mampu masuk ke lingkungan kampus dikarenakan adanya organisasi-organisasi yang ada lingkungan kampus dan diikuti oleh beberapa mahasiswa. Mahasiswa yang belum memiliki pemahaman kuat terhadap nilai dan norma tentunya akan mudah terpengaruh terhadap paham radikal atau radikalisme.
Mengingat Perguruan Tinggi adalah lembaga pendidikan yang seharusnya
menjadi lembaga yang melahirkan para pemikir, peneliti, seorang yang ahli dalam
bidang ilmunya, menguasai IPTEK, akan tetapi juga menjadi manusia yang
berpandangan dan berwawasan luas, demokratis, mampu memecahkan
permasalahan dan dapat mengikuti perkembangan jaman. Maka, upaya yang
efektif untuk mencegah kampus dari radikalisasi adalah dengan melakukan
strategi yang berlawan dari dua kesimpulan penting di atas.Pertama, kampus harus
memberikan fasilitas belajar keagamaan yang proporsional kepada mahasiswa, terutama untuk menampung mereka yang sesungguhnya memiliki semangat
belajar agama cukup tinggi, sekalipun tidak memiliki latar belakang keagamaan
yang kental. Sehingga mereka tidak belajar agama kepada kelompok radikal dan
eksklusif yang berbahaya. Kedua, kampus secara berkala harus mengupayakan
penyebaran ajaran keagamaan dengan suasana terbuka dan menekankan
moderatisme. Selain mampu membendung radikalisasi dan mencegah bibit teroris,
kedua upaya itu bisa menjadi strategi untuk membangun moralitas mahasiswa
yang seimbang dengan keunggulannya secara akademik (Huda, 2019)
Yani dkk. 2019. Menangkal Radikalisme di Kampus. Pusat Pembinaan Ideologi
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Negeri Surabaya: Surabaya.
Jalwis. 2021. Sosialisasi Menangkal Radikalisme di Kalangan Mahasiswa. Altifani. 1(1) : 47-63.