MANGAWAH di Banua Banjar
Tradisi memasak nasi di dalam kawah atau wajan besar disebut masyarakat banjar terutama di daerah pahuluan. Tradisi ini dilakoni saat acara hajatan walimah perkawinan, haul arwah, aqiqah atau peringatan lainnya yang dilaksanakan oleh masyarakat. Tradisi ini tak tergerus zaman karena mengawah ini menentukan sukses tidaknya sebuah acara. Selain itu, juga menjalin keakraban antar masyarakat.
Budaya mengawah ini merupakan budaya gotong royong khas masyarakat Banjar. Proses mengawah sendiri mungkin terdengar mudah seperti memasak biasa. Padahal mengawah sendiri perlu trik tertentu agar menghasilkan tanakan nasi yang baik dengan jumlah yang banyak. Perbedaan mengawah dengan memasak biasa adalah bagaimana nasi yang dibuat dalam jumlah yang banyak dapat masak dengan merata, tidak gosong, dengan durasi yang lebih singkat dan kadar airnya sesuai sehingga nasi tidak keras.
Cara mengawah sendiri dimulai mendidihkan air dalam kawah atau wajan besar di atas kayu bakar. Kedalaman air dalam wajan kira-kira setengah atau tiga perempat kawah sesuai takaran beras yang mau dimasak. Ketika air sudah mendidih, beras dimasukkan dengan cara ditaburkan menggunakan piring sambil diputar mengikuti didihan air dan diamkan. Namun, beberapa saat kemudian sambil diaduk-aduk pakai sendok tangkai panjang yang terbuat dari kayu atau pelepah nyiur. Kegiatan mengaduk itu berlangsung terus menerus sampai airnya mulai mengering.
Proses inilah yang membuat tukang kawah harus bekerja lebih keras karena setelah air mulai mengering, permukaan kawah harus ditutup dengan beberapa lembar daun pisang. Proses pematangan inilah yang sangat penting dan menuntut kehati-hatian karena kalua semua bara apinya tidak disingkirkan maka nasinya akan gosong dan terbentuk kerak nasi yang berbau gosong atau hangit. Hal menarik dari tradisi ini adalah selain identik dengan rasa kegotong – royongannya juga dapat menghemat biaya dalam proses memasak dalam skala besar.