Kerukunan Umat Beragama dalam Balutan Pancasila
Bangsa Indonesia memiliki dasar negara yang berbeda dengan negara lain yakni Pancasila. Pancasila ditetapkan sebagai dasar ideology dan pedoman falsafah hidup bangsa Indonesia. Pembuatan Pancasila sendiri didasari dengan perbedaan budaya, suku, ras, dan agama yang ada. Pancasila sendiri bersifat mutlak dan tidak bisa diubah meskipun jaman berubah seiring berjalannya waktu.
Masih lekat dalam ingatan tentunya beberapa aksi keagamaan yang terjadi beberapa waktu lalu di Jakarta yang berpengaruh besar. Aksi ini dinamai aksi bela Islam sebagai akibat dari penistaan agama yang dilakukan oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta. Aksi ini berlangsung hingga mencapai jilid II dan dalam wacana jilid III meskipun proses hukum sudah berjalan sesuai prosedur yang ada. Sontak ada beberapa indikasi adanya penguatan terhadap radikalisme agama tertentu.
Data dalam Tirto.id sendiri menunjukkan bahwa ada sekitar 632 kasus pelanggaran Kebebasan Beragama / Berkeyakinan yang tersebar dalam 10 Provinsi berbeda. Data tersebut terjadi pada saat masa pemerintahan Jokowi periode pertama. Contoh paling jelas yang terjadi ialah pada Bupati Bantul yang menurut Direktur Riset Setara Institute, Halili tidak jelas keberpihakan pada aksi penolakan Camat Pajangan yang beragama non-muslim.
Ada banyak hal-hal penting yang bisa didapatkan dari Pancasila ketika ditelaah secara mendalam. Pancasila memberikan penekanan terhadap keragaman yang ada di Indonesia supaya bisa tetap berada dalam koridor persatuan. Hal terpenting dalam menjalin kesatuan dan keutuhan bangsa ialah mengenai toleransi beragama.
Pancasila sebagai Landasan Teologis Kerukunan
Teologi memiliki kolerasi terhadap ketuhanan atau dalam bahasa Yunani diartikan sebagai ilmu hakikat Tuhan. Hornby, dalam bukunya yang berjudul Oxford Advanced Learner’s Dectionary of Current English menafsirkan teologi sebagai pemahaman ketuhanan yang dijadikan landasan berkeyakinan oleh setiap pemeluknya. Secara prinsip setiap agama memiliki dasar-dasar teologis yang hampir sama yakni kepercayaan terhadap adanya Tuhan, akan tetapi dalam praktiknya atau bentuk kepercayaan, banyak sekali keberagaman yang terjadi.
Perbedaan yang terjadi dalam kepercayaan dan praktik keagamaan menghasilkan berbagai jenis teologi yang kemudian menjadi hal-hal sensitif. Seringkali terjadi dugaan penistaan agama dikarenakan ketersinggungan menyangkut nilai-nilai teologis setiap agama. Individu kemudian akan bergerak dan menjalin kelompok untuk melakukan pembelaan atas nama agama tetapi lupa untuk mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Ada satu pertanyaan bagus dari Harry Austryn Wolfson dal bukunya yang berjudul The Philosophy of the Kalam, yakni tentang apa saja pembaruan dalam teologi keagamaan klasik yang sudah tidak relevan untuk kehidupan beragama saat ini? Agama di Indonesia sendiri harusnya lebih mengedepankan konsep pluralism atau toleransi beragama.
Setiap agama diharuskan mengedepankan nilai-nilai sosial kemasyarakatan, tidak lagi hanya berdasar kepercayaan beragama. Istilah yang marak digunakan saat ini untuk menyimbolkan isyarat tersebut ialah “Humanity above religion.” Jadi tidak ada lagi konsep-konsep beragama yang menyalahi hak-hak asasi manusia. Perlu adanya kajian mendalam mengenai pembaharuan nilai keduniaan termasuk di dalamnya nilai bermasyarakat, kemanusiaan, dan wacana sosial, bukan lagi pada surga dan neraka.
Pancasila dan Nilai-nilai Kebangsaan
Pancasila sebagai dasar negara sudah seharusnya menjadi kunci atas berbagai permasalahan yang tengah dihadapi oleh negara termasuk intoleransi. Dasar negara yang disahkan diakui oleh seluruh elemen pergerakan saat proklamasi ini bersifat final dan menjadi kunci untuk keselarasan beragama dan bermasyarakat. Selain itu, Pancasila juga ditasbihkan sebagai pemegang peran utama dalam berperilaku. Kelima sila yang tercantum di dalamnya pun sudah mencakup seluruh aspek kehidupan.
Ketuhanan dan Pentingnya Toleransi Beragama
Sila pertama yang ada di dalam Pancasila berbunyi “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Yang secara langsung menjabarkan bahwa Indonesia adalah negara berketuhanan. Indonesia lahir dari berbagai perbedaan kepercayaan yang seharusnya tidak perlu dipaksakan untuk menjadi sama rata. Dasar negara Pancasila tidak dipimpin oleh satu agama saja. Toleransi adalah penjembatan yang berfungsi sebagai benang-benang merah penyambung dalam tujuan bangsa yang adidaya.
Agama dan negara adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan karena keduanya termasuk ke dalam hal pokok dalam prinsip kebangsaan.Sila pertama menegaskan bahwa bangsa Indonesia sangat menghargai keberadaan agama. Tetapi ini sering kali disalah artikan oleh beberapa pihak yang terus memaksakan Indonesia menjadi negara agama.
Adil dan Beradab dalam Toleransi Beragama
Sila kedua Pancasila adalah visi bangsa Indonesia yang memiliki keinginan untuk menjadikan Indonesia sebagai kebangsaan yang mulia. Dalam hal ini terdapat kata adil dan beradab yang memiliki arti bahwa Indonesia menjunjung tinggi keadilan dalam setiap perilaku. Serta, adanya adab yang berarti semua tindakan harus berdasarkan nilai-nilai kesopanan dan kesantunan. Jika ditelaah lebih lanjut, sila kedua ini bisa berarti Indonesia menjunjung tinggi persamaan hak-hak dalam kegiatan beragama.
Prinsip dalam sila kedua ini berkorelasi dengan sila yang lain dan semakin menegaskan bahwa seluruh yang berkaitan dengan ketuhanan harus diiringi dengan pemikiran kemanusiaan. Seperti melengkapi kesengajaan penyelewengan tafsir pada sila pertama.Soekarno sendiri sebagai bapak proklamator bangsa pernah memberikan pernyataan “Berketuhanan yang berkebudayaan.”Maksudnya, negara Indonesia perlu menjalankan nilai keagamaan dengan tetap berpegang teguh pada prinsip keadilan.
Toleransi Beragama sebagai Pilar Persatuan Indonesia
Sila ketiga “persatuan Indonesia” adalah bukti bahwa kehidupan bermasyarakat perlu memperhatikan prinsip kebangsaan. Nilai sila ketiga ini memastikan kembali pentingnya mempelajari sejarah bagaimana kita bisa memutuskan untuk membentuk satu negara yang utuh. Tidak aka nada kebaikan yang bisa didapatkan ketika keagamaan berjalan sendirian tanpa diiringi pemahaman sejarah kebangsaan yang baik.
Agama adalah salah satu elemen yang penting untuk menjaga keutuhan dan menjalankan kehidupan bernegara. Visi yang tercantum di dalam Pancasila harusnya diadaptasi ke dalam misi dalam berpolitik, berbudaya, dan beragama. Seluruh elemen masyarakat yang ada di bawah naungan NKRI haruslah memahami pentingnya menjaga rasa nasionalisme. Sila ketiga semakin mempertegas bahwa seluruh lintas kehidupan perlu bersinergi untuk kedaulatan bangsa.
Kerakyatan dan Permusyawaratan dalam Toleransi Beragama
Sila yang berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan” memiliki makna setiap warga memiliki hak untuk berpartisipasi aktif dalam mencapai kedaulatan. Dalam arti lain, tidak ada satupun elemen masyarakat yang bisa dikesampingkan hak-haknya demi mencapai sebuah keputusan. Perlu juga dilakukan pembangunan terhadap kehidupan berkerakyatan yang menjadi tugas bersama.
Sila ini bukan hanya mengisyaratkan bahwa setiap warga berhak untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan berpolitik saja. Melainkan dalam segala aspek kehidupan yang ada termasuk di dalamnya kehidupan beragama dan berbudaya. Jika sila keempat berhasil dilaksanakan dengan sebenar-benarnya perlakuan, maka kehidupan yang sinergis dan bermartabat bukan hanya ada di dalam mimpi belaka.
Toleransi Beragama dan Perwujudan Keadilan Sosial
Sila terakhir dalam Pancasila yang juga menjadi penutup dan dipahami bersama bahwa keadilan sosial adalah tujuan yang mutlak harus diperjuangkan. Sila kelima ini menjadi muara dari keempat sila yang telah dirumuskan sebelumnya. Setiap gerak elemen bangsa yang ada haruslah berkiblat pada tujuan akhir yang adil bagi seluruh rakyat.
Agama menjadi elemen yang memiliki pengaruh kuat dalam keadilan ini dimana agama lebih banyak dipatuhi. Kepercayaan seseorang akan selaras dengan ajaran keagamaan yang dianutnya. Dalam arti yang lebih luaspun, agama memiliki peran yang sangat sentral. Ketika telah didapatkan prinsip bahwa setiap insan berhak untuk menjalankan keagamaan sesuai dengan kepercayaan maka kehidupan yang adil bisa tercipta dengan mudah.
Permasalahan intoleransi beragama yang saat ini terus menjadi topik hangat untuk dibicarakan dimanapun. Padahal menurut Gus Dur, Tuhan tidak perlu dibela dalam artian wacana kritis yang lebih cenderung kepada teosentris. Pernyataan tersebut menjadi salah satu pernyataan yang menohok untuk kelompok masyarakat yang terus bersuara membela agama tetapi lupa membela hal-hal berkaitan tentang kemanusiaan. Kehidupan akan terasa jauh lebih baik ketika fokus utama bukan lagi mengenai Ketuhanan, melainkan pada kemanusiaan, penindasan, dan minoritas yang jelas tidak dibenarkan oleh Pancasila.
Redaksi Duta Damai Kalsel