Hijrah Menuju Solidaritas Kebangsaan
Hijrah pada hakikatnya bukan sekadar pindah secara fisik dari satu wilayah ke wilayah lain. Hijrah memiliki makna yang sangat substansial yang bisa dikontekstualisasikan sesuai semangat jamannya. Makna substansial hijrah itu adalah perubahan dari sesuatu yang buruk (before) menuju kepada sesuatu yang baik (after). Sesuatu di sini mencakup tempat, waktu, sikap, prilaku, perkataan, dan segala hal, baik dalam konteks individu, masyarakat maupun dalam berbangsa dan bernegara.
Hijrah menuju kepada sesuatu yang baik sudah dipraktekkan ole Nabi sendiri. Nabi hijrah dari Mekkah menuju Madinah. Perpindahan ini mengindikasikan perpindahan dari kota yang tidak memberikan rasa aman; tidak menghargai perbedaan; tidak egaliter; dan jauh nilai-nilai humanisme-universal, yang berlaku humanisme kesukuan menuju kepada kota heterogen, banyak perbedaan dan keberagaman.
Hijrah ala Nabi dimaknai sebagai transformasi menuju kepada masyarakat madani, guyub, dan menghargai keragaman. Hal ini terlihat dari praktik yang dilakukan Nabi pertama kali adalah membangun persaudaraan dan menghilangkan sekat-sekat primordialisme kesukuan. Di atas persaudaraan, Nabi membangun piagam Madinah yang di dalamnya kemanusiaan, persatuan, persaudaraan, dan tanggungjawab bersama diletakkan sebagai komponen penting. Dengan piagam Madinah, kota menjadi aman, damai, dan penuh sikap saling menghormati.
Hijrah Kebangsaan Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, semangat hijrah Nabi itu bisa dijadikan sebagai preferensi dalam bersikap dan bertindak. Semangat itu adalah persaudaraan, persatuan, tanggung jawab, dan menghargai keberagaman. Keempat poin ini merupakan keyword yang bisa digunakan untuk mengkontekstualisasikan semangat hijrah dalam konteks kekinian dan kedisinian.
Pertama, persaudaraan. Sikap ini terlihat dari ikatan kaum Muhajirin (pendatang) dengan kaum Anshor (penolong). Setelah di Madinah, semuanya adalah sudara yang harus saling membantu dalam segala hal. Tidak ada kelebihan antara satu suku dengan suku lain; antara laki dan perempuan; antara kaya dan miskin. Semuanya melebur menjadi warga Madinah sesuai dengan konsensus bersama. Sikap persaudaraan itu juga harus menjadi teladan sesama anak bangsa untuk saling menghargai dan saling memberdayakan. Semua suku, etnis, ras, agama dan keyakinan semuanya adalah bersaudara. Bersaudara artinya sedarah, yakni sama-sama lahir dan hidup dalam bumi ibu pertiwi. Setiap usaha yang bisa mencederai rasa persaudaraan sesama anak bangsa harus dilawan. Kasus rasisme, sentimen isu SARA, hubungan antara dan antar umat beragama harus tetap dirawat oleh segenap komponen anak bangsa. Jika ada provokasi, berita bohong, ujaran kebencian, dan polarisasi yang berpotensi terjadinya disintegrasi harus segera diakhiri. Dengan hijrah kebangsaan, kita harus meletakkan persaudaraan di atas segalanya.
Kedua, persatuan. Selanjutnya yang dibenahi adalah rasa persatuan. Dengan hijrah kebangsaan, kesatuan kita sebagai anak manusia yang hidup di bumi Nusantara ini harus tetap pada sikap saling menguatkan dan men-support, bukan saling merongrong dan menegasikan. Satu bahasa, satu bangsa, dan satu tanah air harus tetap dijaga bersama.
Kerja-kerja kolektif harus digalakkan, bahwa Indonesia adalah milik bersama, bukan milik sekelompok organisasi, partai politik, atau agama tertentu saja. Indonesia menaungi dan mengakomodir semua. Semuanya adalah warga-negara, yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Tidak ada kelas satu, dua, dan seterusnya; semuanya sama di depan hukum dan negara.
Ketiga, tanggungjawab. Dengan hijrah kebangsaan, setiap anak bangsa harus sadar bahwa tugas merawat, menjaga, dan memajukan negeri ini adalah tugas bersama. Kita harus saling bahu-membahu, saling memberdayakan, saling asah dan asuh dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Ini adalah tanggungjawab kita bersama. Hijrah Nabi mengajarkan kepada kita, bahwa tanggungjawab itu harus dipikul bersama. Semua anak bangsa harus berkontribusi dalam mewujudkan cita-cita luhur dan amanat UUD 1945. Sebagaimana suka Auz dan Khajraz; Muhajirin dan Anshar; Muslim, Yahudi, Kristen, dan para paganisme bersatu ketika masa Nabi, maka seyogianya itu juga terwujud dalam tanggungjawab bersama dan saling bergandengan tangan.
Keempat, menghargai keberagamaan. Madinah adalah kota heterogen, banyak suku, agama, dan latar belakang ekonomi-sosial yang berbeda-beda. Meskipun demikian, warganya saling menghargai. Dengan hijrah kebangsaan, semangat ini juga harus terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun kita memiliki banyak suku, bahasa, budaya, adat-istiadat, kita tetap Indonesia. Semangat itu sudah disimpulkan oleh para pendiri bangsa dengan slogan bhineka tunggal ika.
Dengan keempat poin di atas, maka perayaan tahun baru hijrah tidak sekadar seremonial belaka, melainkan harus dijadikan sebagai momentum dalam meneguhkan solidaritas kebangsaan, yakni bangsa yang bersaudara, bersatu, bertanggungjawab, dan saling menghargai perbedaan yang ada. Hijrah adalah semangat transformasi sosial menuju nilai-nilai substansial di atas.
Oleh: Hamka Husein Hasibuan