Gagal ke Negeri Cina Gara-gara Sistem Zonasi
Kata “ZONASI” saat ini menjadi perbincangan masyarakat luas. Sistem yang mulai diterapkan sejak tahun pelajaran 2018/2019 ini banyak menuai pro dan kontra. Alasannya tentu saja karena dinilai membatasi siswa dengan nilai yang tinggi untuk mendapatkan sekolah favorit. Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) merancang kebijakan ini untuk menciptakan pemerataan pendidikan dan meniadakan konsep sekolah favorit atau unggulan di lingkungan sekolah negeri di Indonesia. Ketentuan ini berdasarkan Pasal 16 Permendikbud RI No 14 Tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pada Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan, atau Bentuk Lain yang Sederajat.
Mungkin bagi anak-anak yang akan masuk sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas dan sekolah menengah kejuruan tentunya sangat berdampak. Akan tetapi, untuk anak-anak yang masuk sekolah dasar tentunya hal ini tidak berdampak. Pernyataan saya sebagai pengajar di salah satu sekolah dasar negeri Kalimatan Selatan tersebut mungkin saja berkebalikan dengan orang tua maupun pengajar di daerah lain. Namun, pernyataan saya ini tentu saja bukan sekedar asumsi melainkan apa yang saya rasakan sendiri sebagai guru sekolah dasar negeri di daerah saya.
Pandangan saya sebagai guru sekolah dasar negeri, sistem zonasi tidak berpengaruh malah justru menguntungkan. Sistem zonasi membuat anak-anak bisa sekolah di tempat yang dekat dengan rumah. Hal ini tentu saja sangat berguna bagi guru untuk melakukan kunjungan rumah dalam rangka mengamati kegiatan siswa di rumah maupun dalam rangka kegiatan sosialisasi dengan orang tua peserta didik mengenai perkembangan maupun masalah yang sedang dialami anak mereka. Selain itu, untuk sekolah sendiri tentu saja sistem zonasi ini akan meramaikan sekolah. Sekolah yang biasanya sepi peminat karena bukan sekolah favorit, menjadi ramai karena banyak peserta didik yang rumahnya di sekitar sekolah tersebut mendaftar. Sedangkan dalam hal akademik, rata-rata anak yang berumur 6 tahun itu sama saja pola pikirnya maupun kepintarannya dikarenakan kompetensi yang dituntut untuk anak usia sekolah dasar hanya pada bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Hal tersebut tentu saja berbeda dengan anak-anak yang masuk SMP/SMA/SMK. Dimana sekolah mencari nilai ujian diatas 80 an untuk sekolah favorit atau unggulan. Dalam hal tersebut, tentu saja sistem zonasi sangat berpengaruh karena sekolah tidak dapat lagi menyaring peserta didik baru berdasarkan nilai akademik akibat zonasi yang lebih utama. Seperti SMP/SMA/SMK A yang dulu adalah sekolah dengan kualitas terbaik di kota, karena adanya sistem zonasi, peserta didik yang nilai ujian SD/SMP nya rendah sekalipun bisa masuk ke SMP/SMA/SMK A karena rumahnya yang dekat dengan sekolah tersebut. Hal tersebut tentu saja dapat menurunkan mutu sekolah. Selain itu, sekolah favorit atau unggulan makin sedikit menerima peserta didik yang pintar. Sedangkan peserta didik yang pintar dalam akademik tidak bisa masuk sekolah favorit atau unggulan tadi gara-gara sistem zonasi.
Hal tersebut dikhawatirkan akan membuat persepsi orang Indonesia bahwa jika kita pindah rumah dekat sekolah favorit atau unggulan, maka kita bisa masuk sekolah tersebut tanpa perlu belajar dan nilai ujian yang tinggi. Dan masalah persepsi ini juga perlu diperhitungkan pemerintah terhadap kebijakan baru yang diluncurkan.
Satu sisi lainnya, kebijakan pemerintah ini tentu wajib diapresiasi karena mampu memutus mata rantai gelar “Sekolah Favorit” yang sulit diputus yang berarti adanya pemerataan pendidikan. Sehingga tidak ada lagi gelar sekolah yang hanya menerima peserta didik yang pintar. Karena tujuan adanya sekolah sendiri adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan sebaliknya.
Berdasarkan pemaparan saya di atas, sebenarnya apapun kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sejatinya selalu saja ada yang pro maupun kontra. Sehingga yang menjadi pusat perhatian pemerintah seharusnya bukan pada opini masyarakat. Akan tetapi, cara pemerintah memberikan standar pelayanan minimum yang sama baik dari segi pengajaran maupun fasilitas sekolah guna memberikan keadilan terhadap pendidikan bagi semua kalangan masyarakat. Sehingga berbagai persepsi negatif yang muncul di masyarakat pelan-pelan hilang dengan sendirinya. (ZR/RON)