free page hit counter

Difabel? Bukan Halangan tuk menjadi kebanggaan.

OPINI – Zaman yang selalu berkembang, manusia yang selalu menikmati semua perkembangan zaman, berada di dalamnya dan ikut serta mengarunginya. Menjelajahi betapa hebatnya dunia modernisasi yang semakin pesat. Namun, tidak semua manusia mampu menikmati perkembangan zaman yang nampak adanya.  Banyak golongan minoritas yang saat ini masih saja terbatas dalam menikmati segala ke modernisasian zaman.

Salah satu golongan minoritas itu adalah golongan difabel. Sebagai minoritas terbesar, difabel saat ini masih sulit terlepas dari segala bentuk diskriminasi walaupun segala usaha yang dilakukan pemerintah adalah untuk menyamaratakan segala kondisi agar tidak terjadi perbedaan antara manusia normal dengan difabel.

Sebagai seorang difabel, ia sangat paham bagaimana kesulitan yang dihadapi  dalam menjalani hidup. Namun ia tidak menyerah begitu saja, ia terus belajar hingga akhirnya menjadi seorang aktivis yang bergerak membela hak difabel.

Kehilangan penglihatan dan pendengaran.

Hellen Adams Keller, kelahiran Tuscumbia, Alabam pada 27 Juni 1880. Merupakan anak pertama dari dua bersaudara, anak dari seorang  editor surat kabar mingguan dan Kapten Tentara Konfederasi selama perang saudara di Amerika, Arthur H. Keller[1]. Keluarganya yang tidak terlalu kaya yang hanya mendapatkan penghasilan dari perkebunan kapas mereka.

Dilahirkan dengan indera penglihatan dan pendengarannya, mulai berbicara ketika baru berusia 6 bulan dan mulai berjalan ketika berusia 1 tahun. Naasnya, ketika ia berusia 19 bulan, ia terserang penyakit yang disebut dengan ‘demam otak’. Sakitnya yang begitu parah membuat medis mengira bahwa Keller tidak akan selamat.

Namun, siapa sangka jika keberuntungan masih berpihak kepadanya, demam yang dideritanya berangsur-angsur menghilang. Sayangnya, gejala aneh kembali menimpanya ketika Keller tidak memberikan respon ketika bel makan malam dibunyikan serta ketika sebuah tangan melambai di depan wajahnya. Sejak saat itu, keluarganya menyimpulkan bahwa Keller kehilangan dua indera pentingnya.

Hilangnya dua indera pentingnya membuat ia bertindak tidak terkendali, liar, dan pemarah hingga suatu hari ia dipertemukan dengan seseorang yang bersedia menjadi guru sekaligus pengasuh dan sahabatnya, Anne Sullivan. Ia mengajarkan Keller berkomunikasi dengan caranya sendiri, mengeja berbagai kata melalui bahasa isyarat hingga suatu perkembangan tanpa diduga membuat Keller semakin semangat dalam belajar.

Semangatnya belajar membawanya untuk mampu berbicara dan mempelajari mata pelajaran akademik regular. Namun, tidak sampai disitu. Ia selalu merasa tidak puas dengan ilmu yang didapatkannya, ia ingin melanjutkan pendidikannya yaitu berkuliah. Ia belajar berbagai macam bahasa untuk mendukung pendidikannya walaupun masih banyak orang yang meragukan kemampuannya untuk mengikuti dunia perkuliahan.

Semangatnya dalam belajar, bakatnya, serta tekadnya membuat banyak orang berpengaruh terkesan olehnya. Henry H. Rogers setuju untuk membiayai kuliahnya di Radcliffe College (Cabang wanita Universitas Harvard). Selama kuliah Keller terus mempelajari berbagai bahasa komunikasi, dari bahasa isyarat, tulisan, sentuhan dan sebagainya hingga ia lulus dari dunia perkuliahan. Keller mulai tertarik belajar mengenai dunia dan bagaimana ia bisa membantu meningkatkan kehidupan orang lain. Ia juga mulai aktif di partai sosialis membuatnya menulis berbagai artikel mengenai sosialisme, hak perempuan, hak difabel, dan dampak yang ditimbulkan dari perang [2].

Berdasarkan kisah singkat di atas, dapat kita lihat bahwa kekurangan seseorang tidak harus menjadi kekurangannya, bisa jadi kekurangan tersebutlah yang akan membawanya menuju kelebihan yang luar biasa yang bahkan tidak mampu dicerna dengan logika yang kita punya. Siapa yang akan percaya jika tidak ada bukti nyata bahwa ketiadaan adalah sebuah keadaan yang belum terlihat nyata. Hellen Keller menjadi seorang aktivis, meraih beberapa nobel mendunia, hingga diangkat menjadi penasihat hubungan Internasional untuk American Foundation of Overseas Blind. Semangatnya, tekadanya, serta kemauannya yang keras memberikan jalan dan peluang untuknya. Lalu? Bagaimana dengan kita yang masih mampu mendengar dan melihat dengan baik? Apa saja yang telah kita berikan untuk peradaban? Apa saja yang telah kita persembahkan untuk perdamaian?

Please, stop to give other a judgment. Saatnya kita bergerak demi perubahan yang lebih baik. Tidak ada yang menutup kemungkinan demi sebuah kebaikan. (Zu/Nov)

 

[1] Keller, Hellen Adams.(1903). The Story of My Life. New York: Doubleday page and Company.

[2] Giffin, Frederick C. (1984). The Radical Vision of Hellen Keller. International Social Science Review, Vol. 59. No.4

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *