Cerpen Pt. 3
Sopir Ganjil
Dari arah yang berlawanan, sebuah taksi datang ke TKP, sepertinya sudah mendapat mandat untuk membawa penumpang-penumpang berwajah seperti tanaman ‘tak terawat. Taksi kosong tanpa penumpang itu disetir oleh lelaki paruh baya berlengan kekar, dan kacamata hitam betengger di kepala botak. Kami berbondong-bondong memasuki taksinya. Aku mendapat duduk bagian tengah bersebelahan dengan lelaki seumuranku. Aku merasa ditatap, ku biarkan beberapa menit. Nah! Ia tertangkap basah, aku berikan anggukan saja supaya ‘tak awkward.
“Sagara, kamu?” Sembari mengulurkan tangan untukku.
“Aku Una, lengkapnya Unalaska.” Kusambut uluran tangannya.
Tujuannya ingin tahu namaku ternyata, lelaki ini berusaha membuka topik padaku. Ya…, ku tanggapi saja, lumayan untuk olahraga mulut, karena hari ini malas sekali berucap kalimat, hati dongkol, tapi harus bersikap menerima seolah bodo amat.
Ia memang lelaki rendah hati, netranya menggambarkan kearifan, pipinya ‘tak mengembang seakan tidak punya banyak beban, dan bibir tipis yang ranum berucap penuh sopan. Argh …, aku terlalu dalam meresapi balutan wajahnya. Caranya bercakap seperti seorang pendidik yang bijak. Lalu, apa kerjanya?
“Bervariasi, multifungsi,” katanya. “Paginya mengajar di sekolah berkebutuhan khusus, siang hingga malam jadi pelayan untuk opa-opa dan oma-oma di panti.”
“Jadi guru?”
‘Iya. Jadi konselor juga bisa,” tandasnya.
Aku yakin saja dengan jawabannya, karena sesuai dengan tampang dan tampilan. Cukup dibuat terkesima oleh lelaki ini, dibanding aku yang hanya seorang administrator di salah satu ekspedisi. Kurasa ia banyak mengerti tentang karakter orang-orang.
“Jadi, kenapa sopir taksi zaman ini menyebalkan,” celetukku. (US/IAN)