Cermin: Muka Dua Satu Cinta
“Aww, kau membuatku basah,” lirihnya.
‘Hei, kau masih saja protes denganku, bukankah kau menyukainya?” jawabnya.
“Aku menyukainya, tapi bisakah kau pelan-pelan saja melakukannya, kau kira aku ini apa?” kesalnya.
“Bodoh, kau kira kau itu apa? Kau siapa? Aku masih baik dengan mu. Jadi tolonglah untuk jangan melunjak” jawab pria itu lagi, kemudian meninggalkannya pergi seorang diri.
“Dasar manusia, iya selalu saja membuatku basah dengan cara yang tidak indah,” masih saja dengan kesalnya.
Ya, ia masih saja mengomel karena dibuat basah oleh seorang pria berbaju using dengan sebuah ember ditangannya, selalu mengomel dan mengumpat ketika pria itu datang, namun akan selalu memujinya ketika pergi. Ia tersenyum dan berterima kasih kepada sang Pencipta, ditengah gersangnya lahan, masih ada orang yang bersedia membantunya untuk tumbuh menjadi lebih baik.
“Ya, ya, ya, kau selalu saja seperti itu. Seolah kau membencinya namun dibelakang itu kau berterima kasih kepadanya karena telah merawatmu hingga tumbuh sebesar ini,” Ucap semut yang baru saja melintas disampingnya.
“Begitulah aku, Tidak semua keburukan yang aku katakan itu buruk, dan tidak semua pujian yang aku katakana itu baik. Terkadang kita hanya perlu menyimpan itu semua di dalam hati”
Pria itu memang using, menyiram tumbuhan kecil itu setiap hari dengan kasar, namun tanpa disadari ia memiliki hati yang tulus. Tak pernah ia meninggalkan tumbuhan kecil itu seorang diri dalam keadaan yang lalu kemudian mati. Tumbuhan kecil yang hampir mati itu kini berubah menjadi tumbuhan yang segar dan memberikan banyak manfaat karena dapat digunakan sebagai obat.
Kata yang terrucap kasar bukan berarti tidak memiliki hati yang tulus, namun itulah karakternya. As a human, nggak semua manusia itu jahat dan tidak semua pula baik, namun tetaplah berdiri untuk selalu melihat ketulusan hati yang tertutupi oleh sikap bengisnya. (Zu/IAN)