free page hit counter

Butet Manurung: Pejuang Pendidikan Rimba

Saur Marlina Manurung, perempuan berdarah Batak yang sering dipanggil Butet ini lahir di Jakarta, 21 Februari 1972 merupakan perintis dan pelaku pendidikan alternatif bagi masyarakat terasing dan terpencil di Indonesia, sekaligus seorang penulis buku inspiratif dengan tema yang tetap berkaitan dengan dunia pendidikan.

 

 

Butet yang semasa kuliah mengambil dua jurusan, yaitu Antropologi dan Sastra Indonesia di Universitas Padjajaran, Bandung, memang memiliki ketertarikan tersendiri pada budaya suku Indonesia, terlebih dirinya yang senang menyatu dengan alam melalui liburan dengan memanjat gunung maupun berkunjung ke daerah terpencil. Selain memiliki rasa cinta pada alam yang begitu tinggi, Butet juga punya kepedulian besar pada pendidikan untuk masyarakat di pedalaman Indonesia. Hal ini muncul ketika ia melakukan perjalanan dan melihat sendiri suku pedalaman yang dianggap bodoh, miskin dan primitif, sehingga sering ditipu. Butet merasa harus melakukan sesuatu untuk mereka.

 

 

Pada tahun 1999, Butet bergabung dengan Warsi, sebuah komunitas yang memiliki program pendidikan alternatif untuk Orang Rimba yang dirintis oleh guru rimba Yusak Adrian Panca Pangeran Hutapea. Ketika Butet bergabung dengan Warsi, kegiatan belajar mengajar Orang Rimba telah terhenti selama 8 bulan, sebab dalam prosesnya Warsi mengalami banyak penolakan dari suku Rimba. Butet diminta menjadi penerus Yusak yang telah meninggal dikarenakan malaria.

 

 

Butet memulai sekolah pertamanya di Bernai, Makekal Hilir. Awalnya murid Butet hanya berjumlah 3 orang. Butet masih menghadapi penolakan dari suku asli pedalaman. Namun lama kelamaan pendidikan menjadi semacam tren baru di kalangan anak muda Rimba. Kemampuan baca-tulis-hitung dianggap keahlian yang hebat setara dengan kemampuan berburu. Pada akhirnya, kepala kelompok masyarakat pedalaman memilih bersikap abstain. Ia tidak menolak dan mendukung sekolah. Tetapi, anak-anak yang ingin belajar diizinkan bergabung bersama Butet.

 

 

Selama Butet menjadi guru rimba bersama Warsi, sekolah rimba mulai berkembang ke wilayah lain di Taman Nasional Bukit Duabelas. Kemudian setelah 4 tahun menjadi guru rimba, Butet mengundurkan diri dari Warsi pada tahun 2003. Ia dan lima rekannya kemudian mendirikan Sokola Rimba dengan slogan “Pendidikan untuk masyarakat adat.” Sokola Rimba pertama dimulai dari pedalaman hutan tropis Jambi. Mereka mencoba memberi pendidikan untuk suku Anak Dalam di Jambi.

 

 

Setelah sukses dengan Sokola Rimba di Jambi, Butet membuka sejumlah sekolah untuk suku-suku terasing di Indonesia, seperti di Pulau Besar, Sikka, NTT, suku Asmat di Papua, dan suku Kajang di Sulawesi Selatan. Selain itu, ia mengembangkan yayasan pendidikan alternatif yang disebut Yayasan Sokola. Lembaga ini didirikan untuk komunitas adat lain di Indonesia yang belum mendapat pendidikan. Butet tidak hanya berusaha memberi pendidikan dasar pada suku di pedalaman, tetapi juga memberikan advokasi. Ia ingin masyarakat adat masyarakat bisa mandiri dan menyelesaikan masalah sendiri.

 

 

Pada tahun 2004, Majalah Time Asia menyebut Saur Marlina Manurung sebagai salah satu Pahlawan Asia. Selain Majalah Time, ia juga mendapat penghargaan Manusia dan Biosfer Award oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), UNESCO Indonesia, Young Global Leader oleh forum Ekonomi Dunia, Social Entrepreneur of the Year oleh Ernst and Young, dan Ramon Magsaysay Award.

 

 

Selain berkarier dalam mengajar, Butet juga menulis buku yang salah satunya berjudul “Sokola Rimba : Pengalaman Belajar Bersama Orang Rimba” yang berisi cerita bagaimana proses Butet mengajar di suku rimba dan memaknai pendidikan di tempat terpencil. Kemudian Butet juga menulis buku “The Jugle School” yang juga menceritakan pengalamannya mengajar anak-anak di sejumlah daerah pedalaman di Indonesia. Pembuatan buku tersebut termotivasi sebab Sokola Rimba yang terancam ditutup karena kekurangan dana, sehingga Butet berinisiatif untuk menerbitkan buku tersebut di AS sebagai salah satu cara penggalangan dana untuk Sokola Rimba. “The Jungle School” diluncurkan secara resmi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC seharga 20 dolar dan semua hasil penjualan disumbangkan untuk pendanaan Sokola Rimba. Terakhir, buku Butet lainnya yang berjudul “Melawan Setan Bermata Runcing” juga mengungkap pentingnya substansi pendidikan yang sebenarnya dikisahkan melalui berbagai pengalaman sukarelawan pendidikan di daerah pedalaman. (DEL/IAN)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *