STOP! AIDS BUKAN AIB APALAGI KUTUKAN
OPINI – Dari judul ini Sobat Damai pasti tau kemana arah pembahasan halaman ini. Yaps! Kita akan membahas bahwa HIV/AIDS bukanlah aib apalagi kutukan. Masih beredar stigma demikian di kalangan kita sehingga menjadikan lingkungan non toleran, maupun diskriminasi terhadap keberadaan penderita HIV/AIDS.
Laporan 2019 lalu, sembilan puluh persen kabupaten dan kota di Indonesia (463 kabupaten dan kota) telah melaporkan adanya kasus HIV/AIDS di wilayahnya. Lima provinsi dengan jumlah kasus HIV tertinggi yaitu DKI Jakarta (62.108), diikuti jawa Timur (51.990), jawa Barat (36.853), Papua (34.473), dan Iawa Tengah (30.257). Sementara itu, lima provinsi dengan kasus AIDS tertinggi adalah Papua (22.554), lawa Timur (20.412), Iawa Tengah (10.858), DKI Jakarta (10.242), dan Bali (8.147).
STOP! AIDS BUKAN AIB APALAGI KUTUKAN
Stigma yang menganggap keberadaan HIV/AIDS jelek menjadikan penderita juga mengalami gangguan secara psikologis. Dan juga menjadikan penderita enggan memeriksakan dirinya karena masih adanya anggapan HIV/AIDS sebagai aib. Hal itu, kata dia, bisa berbahaya karena perkembangan kesehatan ODHA jadi tidak terpantau. Begitu juga pencegahan penularannya jadi lebih susah dilakukan.
Dalam merawat penderita HIV/AIDS pun perlu keikhlasan, jiwa besar, dan rasa sosial yang tinggi memang untuk bisa melayani pasien ini, walau terkadang butuh waktu berjam-jam untuk mendengarkan keluh kesah, keresahan, dan efek samping yang mereka alami akibat dari mengonsumsi obat HIV (ARV) bahkan di malam hari. Mengonsumsi obat ARV kerap menimbulkan rasa tidak nyaman bagi pasien pemula sampai muncul halusinasi disertai mimpi buruk. Nah, di sinilah kita harus berperan mendukung mereka agar tetap patuh obat. Kendala yang ditemui sangatlah berbeda dari penyakit lain, mereka yang terinfeksi HIV sudah pasti menanggung beban ganda. Pertama, stigma buruk masyarakat akibat HIV-AIDS. Kedua, keberadaannya aib akibat penyakitnya bahkan dianggap kutukan sehingga kerap mendapat perlakuan buruk sampai dikucilkan dari lingkungannya.
Bahkan dalam beberapa kasus, ada keluarga yang tidak mau lagi menerima pasien tersebut ketika dipulangkan dari rumah sakit. Sering pula terjadi saat pasien HIV meninggal tidak mau dimandikan dan dishalatkan di desanya. Mirisnya lagi, anaknya pun akan dikucilkan dari kehidupan bermasyarakat.
Konon ada pandangan bahwa orang yang terinfeksi HIV tidak akan hidup lama, membuat para penderita merasa diri kena kutukan. Persepsi salah ini membuat pasien menjadi frustrasi sehingga putus obat atau bahkan mempunyai niat untuk menularkan penyakitnya kepada orang lain.
Di sinilah kita berperan untuk selalu memberikan motivasi, simpati, empati, dan dukungan nyata agar pasien tetap berobat, tetap tegar menjalani hari-harinya.
Lagi-lagi stigma seperti inilah membuat masyarakat enggan memeriksakan diri bila pernah melakukan perilaku berisko. Ada yang sudah bertahun-tahun memendam rahasia bahwa dirinya pernah melakukan perilaku berisiko dan merasa diri sudah terinfeksi virus HIV, tapi mereka takut memeriksakan dirinya karena orang-orang akan tahu, nanti ia bakal dikucilkan, dan tidak diterima di lingkungannya, bahkan dipecat dari pekerjaannya jika dia karyawan atau pegawai.
Saat ini angka kasus HIV-AIDS meningkat tajam sepanjang tahun dan kematian pun tidak kalah banyaknya. Keprihatinan inilah yang menjadi alasan bagi saya untuk terus berjuang membantu mereka. Harapan terbesar saya saat ini adalah mereka dapat hidup berdampingan bersama masyarakat lainnya tanpa stigma buruk bahwa mereka adalah orang-orang yang terkutuk.
Sekarang ini beberapa fasilitas pelayanan kesehatan di rumah sakit dan puskesmas telah berdiri layanan Klinik VCT. Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau Konseling Tes Sukarela.
Klinik VCT adalah klinik yang secara khusus memberikan pelayanan konseling dan testing (pemeriksaan darah) kepada masyarakat yang diterduga berisiko terpapar virus HIV-AIDS. Di Klinik VCT pasien akan diberikan layanan konseling oleh konselor terampil yang sudah terlatih tentang pemahaman mengenai virus HIV, cara penularan, pencegahan, penanganan, serta diberikan motivasi dan dukungan penuh untuk menjalani pola hidup lebih sehat bagi penderita agar semakin produktif. Bila dari hasil pemeriksaan dinyatakan reaktif (positif), maka akan diberikan layanan terapi obat ARV (Antiretroviral). ARV dikonsumsi bertahap dan berkesinambungan, ODHA diyakini dapat kembali sehat dan tentunya berkat pendampingan yang terus-menerus oleh dokter dan konselor HIV-AIDS.
Penanganan pasien HIV sejatinya tidak hanya dilakukan oleh tenaga medis saja. Akan tetapi, juga dari segi psikososial melalui pendekatan kesehatan masyarakat, terutama upaya promotif dan preventif. Semakin tinggi kesadaran masyarakat untuk mengetahui status HIV lebih dini (deteksi dini), maka akan memungkinkan pemanfaatan layanan terkait pencegahan, perawatan, dukungan, dan pengobatan, sehingga konseling dan tes HIV-AIDS secara sukarela yang merupakan pintu masuk semua layanan tersebut akan semakin meningkat. So, sobat damai mari kita bersama-sama rangkul dan hapus stigma kurang baik mengenai HIV/AIDS. Dan ajaklah orang sekitar untuk memeriksakan diri! (Nov)
Sumber : TribunNews