Ketika Cinta Kehilangan Akal Sehat dan Kesadaran
Kebencian dan dendam seringkali dihubungkan dengan tindakan terorisme. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, sejatinya kebencian adalah sisi yang lain dari cinta. Kebencian adalah sisi lain ketika cinta kehilangan akal sehat, kesadaran dan ruang untuk mengekspresikannya.
Ketika cinta pada agama kehilangan akal sehat, dia memukul rata semua orang sebagai musuh. Setiap perbedaan kecil akan dianggap sebagai sebuah kesalahan. Padahal keberagaman adalah bagian dari keunikan setiap diri, setiap suku, setiap kelompok dan setiap golongan. Keunikan itu sendiri sejatinya adalah buah karya tuhan akan semesta ciptaannya. Akan tetapi ketika cinta kehilangan akal sehat, dia melihat setiap perbedaan itu sebagai halangan dalam meraih cinta yang hakiki, cinta akan Ilahi Rabbi. Akhirnya cinta yang seperti ini, hanya menjadi bahan bakar kekerasan dan kedzaliman, karena pelakunya melihat manusia-manusia munafik akan cinta tuhan, sebagai objek kebenciannya.
Hilangnya akal sehat dari cinta terjadi karena ketiadaan kesadaran. Sejak 1400 tahun yang lalu, Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadisnya berkata :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ الْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ. (رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ)
Artinya : Wahai manusia, jauhilah oleh kalian sikap terlalu berlebih-lebihan (melampaui batas) dalam beragama.! Karena sesungguhnya (hal) yang menghancurkan umat sebelum kalian adalah lantaran sikap terlalu berlebih-lebihan dalam beragama (H.R. Ibnu Majah dari Sayyidina Ibnu Abbas).
Sikap pertengahan adalah bentuk dari hadirnya kesadaran. Ketika seorang insan menyadari akan keterbatasannya untuk melakukan hal-hal luhur pada Yang Maha Tak Terbatas, saat itulah dia memahami cinta yang sejati. Begitupun dalam beragama, cinta tidak bisa dipaksakaan, melampaui batas yang telah ditetapkan. Cinta pada agama seharusnya berada dipertengahan, tidak fanatik, tidak pula terlalu abai. Cinta harus menyadari, akan kekurangan dirinya sendiri sehingga tidak terjerumus kedalam kebencian dan ketidakmampuan untuk menerima kenyataan.
Fenomena terorisme di Indonesia selalu diwarnai dan dibumbui dengan isu agama. Seakan-akan agama mengajarkan kekerasan dan terorisme, padahal sejatinya sangatlah berkebalikan. Di Indonesia para teroris adalah orang-orang yang kecewa. Mereka mencintai hidup, nilai, dan Tuhan, namun lelah melihat keadaan yang menyakitkan. Ketika cinta telah kehilangan akal sehat dan kesadaran, ruang untuk mengekpresikannya pun menjadi semakin sempit. Setan pun ikut ambil bagian, menjadikan terorisme dan kekerasan sebagai pilihan terakhir yang muncul ketika sang pencinta lelah akan cintanya, lelah akan kenyataan, dan lelah menghadapi kehidupan. [RON/AJP]
Inspirasi: