Mamang Cilok
Pagi-pagi sekali, gerobak berwarna hijau yang terbuat dari kayu dan bertuliskan “Cilok Bakso Mang Aji” sudah parkir manis di kawasan kantin sekolah SDN 2 Guntung Payung. Seorang laki-laki paruh baya yang berusia sekitar 29 tahun tampak berdiri tegak di samping gerobak bak juragan cilok. Laki-laki dengan wajah tegas khas suku Batak dan rambut gondrong yang diikat dengan karet gelang pengikat bungkus nasi berwarna merah itu bernama mamang Aji sesuai dengan merk dagangannya.
Mamang Aji yang merupakan laki-laki asli Sumatera Utara, tepatnya asal kota Pematang Siantar ini nekat merantau ke Kalimantan Selatan untuk mengadu nasib guna menata kehidupan perekonomiannya agar menjadi lebih baik. Bencana alam banjir dan tanah longsor yang menewaskan kedua orang tuanya, memaksa dirinya untuk bisa survive (bertahan) hidup dalam keadaan apapun.
Laki-laki yang dulunya bekerja sebagai sopir angkutan umum ini, harus pergi meninggalkan kota kelahirannya guna mengadu nasib di kota orang. Semenjak bencana banjir dan tanah longsor yang menerpa kampung tempat tinggalnya, dengan sekejap dia kehilangan segalanya. Mulai dari rumah yang rusak hingga kehilangan kedua orang tuanya. Kedua orang tua mang Aji meninggal dunia akibat tertimpa material longsor dan kemudian terseret air deras yang menjebol rumahnya.
Sementara mang Aji, nasib baik sepertinya berpihak padanya, saat kejadian, mang Aji sedang bermalam di kota Medan setelah berkeliling kota mengantarkan penumpang yang sengaja membooking mobil angkutan umumnya untuk keperluan wisata menuju “Danau Toba” hingga “Pulau Samosir”. Jarak kota Medan menuju kota Pematang Siantar sekitar 128 km, jarak yang tidak jauh sebenarnya. Tapi karena dia sudah kelelahan, seharian mengantar para wisatawan ke danau Toba hingga ke pulau Samosir, akhirnya dia memutuskan bermalam di Medan.
Bermalam dengan tidur di dalam mobil angkutan umum bukanlah hal yang pertama buat mang Aji. Dia sering melakukannya ketika musim libur tiba dan para wisatawan banyak yang menyewa angkutan umumnya dengan tujuan yang sama. Malam itu berjalan seperti biasanya saja, tidur di dalam mobil angkutan umum yang dia parkir di tempat biasanya para angkutan umum lain parkir atau ngetem. Tanpa ada firasat atau perasaan apapun.
“Mang, ciloknya dua ribu rupiah seperti biasa,” ucap Sari membangunkan mang Aji dari lamunannya.
“Eh, kamu Sari. Ini (sambil menyerahkan bungkusan yang berisi cilok buatannya).’’
“Makasih mang Aji. Tapi, Sari lihat dari tadi mamang melamun terus, ada apa mang?”
“Nggak ada apa-apa, Sar. Mamang cuma lagi ingat sama orang tua mamang aja.”
“Memangnya orang tua mamang di mana?”
“Sudah meninggal dunia Sar, akibat bencana banjir dan tanah longsor.”
“Maaf ya mang,” ucap Sari dengan perasaan tak enak.
“Nggak apa-apa kok Sar. Oh ya ngomong-ngomong kamu gak bosan apa tiap hari jajan cilok mulu?”
“Ya enggaklah mang, soalnya Sari suka banget sama cilok buatan mang Aji terutama bumbu kacangnya.”
Cilok merupakan makanan khas Sunda yang berbentuk bulat seperti bakso yang terbuat dari bahan tepung tapioka atau sagu dengan tambahan bumbu pelengkap seperti sambal kacang dan sambal pedas dari cabai serta memiliki tekstur yang kenyal saat disantap. Bentuknya yang bulat-bulat seperti bakso, terkadang juga diisi para pedagang lain yang ingin memodifikasi ciloknya agar lebih menarik dengan isian seperti daging atau potongan telur di dalamnya, dan biasanya disebut cilok bakso.
Mungkin perasaan heran akan muncul, orang asli Sumatera Utara khususnya dari kota Pematang Siantar, kok bisa membuat dan jualan cilok, makanan khas Sunda, Jawa Barat? Terus jualannya di kota Kalimantan Selatan pula, yang mana masyarakatnya sebagian besar orang Banjar. Akan tetapi, kegigihan mang Aji untuk bangkit dari keadaan yang terpuruk membuatnya tak main-main dalam belajar dan membangun usaha sendiri meski harus banting stir dari sopir angkutan umum menjadi pedagang cilok.
Kegigihan yang ada pada diri mang Aji terbentuk dari hidup yang membenturkannya berulang kali, jatuh berulang kali, hingga berada di titik yang paling rendah dalam hidupnya, yaitu kehilangan pegangan hidupnya. Mulai dari terpaksa berhenti sekolah karena orang tuanya tak sanggup membiayai yang hanya bekerja sebagai petani di lahan orang lain. Hingga harus mengambil peran dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga dengan bekerja sebagai sopir angkutan umum, karena ayahnya sakit. Menjadi sopir bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang harus dia lakukan saat itu.
by : Zulfia