Menikah Bukan Way Out
Bagi sebagian besar orang, menikah atau pernikahan merupakan sebuah titik penting dalam kehidupan yang ingin dicapai oleh semua orang. Namun, pandangan ini bisa menjadi sesuatu yang salah jika seseorang gagal memahami makna atau arti dari pernikahan itu sendiri. Pernikahan bukan hanya sekedar soal menyatukan dua orang dalam satu rumah, tapi lebih dari itu. Pernikahan merupakan babak baru dalam kehidupan yang tentunya banyak persoalan-persoalan yang lebih rumit akan ditemui.
Hari ini ibu Gisa akan menginap ke rumah orang tuanya di Pekapuran Raya, Banjarmasin untuk membantu persipan pernikahan anak perempuan teman dekatnya semasa SD sampai SMP yang bernama Rima. Rima dan Gisa bukan hanya rumahnya saja yang berdekatan melainkan juga hubungan pertemanan mereka. Dari kecil, mereka berdua selalu bermain bersama hingga bersekolah di tempat yang sama pula.
Hingga takdir yang memisahkan mereka. Gisa memilih mencari pekerjaan di luar daerah tempat tinggalnya guna memiliki kehidupan yang lebih baik sesuai dengan prinsip hidupnya. Berbeda dengan Rima yang memilih berdamai dengan hidup dan sistem kebanyakan masyarakat di sana, yaitu menikah muda. Setelah lulus SMP, Rima memutuskan untuk menikah dengan laki-laki pilihan orang tuanya dan tetap tinggal di rumah yang sama.
Suami Rima dulunya pedagang buah yang laris manis hingga sering pergi ke luar kota seperti Surabaya hingga ke Jakarta. Dan tentunya untuk masalah uang bukanlah hal yang sulit. Hidup Rima begitu nyaman waktu itu, apapun yang dia mau pasti terpenuhi. Hingga musibah kebakaran menimpa tokonya di pasar. Sejak kejadian itu, ekonomi keluarganya menurun drastis, suami Rima bekerja serabutan tak jelas sedangkan Rima hanya duduk manis di rumah menjaga anak tanpa melakukan apa-apa.
Menjadi perempuan yang tak memiliki kemampuan atau keahlian memang sulit, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menunggu usaha sang suami saja. Bahkan tabungan saja tak mereka miliki karena kebiasaan hidup boros Rima dan pemikirannya yang dangkal sehingga tidak mempersiapkan kehidupan untuk masa depan.
‘’Yah, hari ini ibu izin pergi ke rumah mama, ya. Soalnya ibu mau bantu-bantu persiapan pernikahan Isna puterinya Rima sahabat ibu dari kecil dulu selain itu mereka juga tetanggaku yah. Segala sesuatunya sudah ibu siapkan kok, titip Sari juga ya,” ucap ibu Gisa sebelum pergi.
“Hah Isna mau menikah? Bukannya dia itu baru lulus SMP, kok sudah langsung menikah?” Tanya ayah dengan bingung.
“Iya yah, katanya sudah ada yang melamar. Kata Rima daripada nanti-nanti mendingan sekarang lumayan katanya mengurangi beban dia. Anaknya kan banyak yah. Apalagi calon suami Isna katanya orang yang berada, bisalah nanti membantu perekonomian keluarga mereka. Lagian menikah muda di kampung ibu kan sudah hal yang biasa, dari dulu malah.’’
“Iya itu kan dulu bu, sekarang kan zamannya sudah berbeda. Ayah jadi kasian dengan Isna, dia tidak bisa meneruskan pendidikannya. Lagipula memangnya menikah itu menyelesaikan masalah apa? Kalau dari ekonomi memang membantu, tapi menikah itukan bukan soal ekonomi saja, banyak masalah lain yang menghadang, memangnya mental Isna sudah siap? Kalau mentalnya tidak siap, apa nanti justru menambah masalah dan beban baru?”
“Ya itu pemikiran ayah, beda yah dengan pemikiran Rima dan suaminya. Kita juga tidak bisa ikut campur urusan keluarga orang lain yah.”
‘’Bukan mau mencampuri urusan keluarga orang lain bu, ayah cuma tidak habis pikir saja, zaman sekarang masih aja pemikiran seperti itu bu. Ya sudahlah ayah titip salam saja dan ibu hati-hati ya. Menginapnya gak lama kan bu?”
“Nggaklah yah. Hari minggu sore ibu sudah pulang. Jaga Sari dengan baik ya yah.”
“Iya, perlu ayah antar tidak?”
“Tidak usah yah, ibu naik angkutan umum saja.”
Kasus pernikahan usia dini di provinsi Kalimantan Selatan tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu masih berada pada urutan keenam se-Indonesia. Hal tersebut diperkuat dengan adanya data dari sebuah penelitian bahwa tingginya angka pernikahan usia dini di Kalimantan Selatan yang mencapai 51/1.000 penduduk pada tahun 2010 dan 2016 yang melebihi rata-rata nasional, yaitu 40/1.000 penduduk. Sedangkan pada tahun 2017, sama sekali tidak ada perubahan jumlah yang signifikan.
Bahkan Dinas Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak (DPPPA) provinsi Kalimantan Selatan (KALSEL) hingga kini masih terus berupaya menekan angka pernikahan usia dini di berbagai daerah. Menurut mereka, berbagai upaya yang telah dilakukan dalam menekan angka pernikahan usia dini sepertinya masih jauh dari kata berhasil. Salah satu upayanya antara lain, yaitu menyiapkan berbagai kegiatan untuk para remaja seperti memberikan pelatihan, membuka kursus-kursus, pembekalan keterampilan, dan olahraga atau kegiatan lain guna memberikan kesibukan bagi remaja agar tidak terlintas dibenak mereka untuk menikah muda. Akan tetapi upaya tersebut seolah-olah nihil karena begitu kuatnya nilai-nilai budaya Banjar pada masyarakatnya terutama orang tua sebagai pemegang tanggung jawab terbesar atas kehidupan anaknya.
Fenomena maraknya pernikahan dini di provinsi Kalimantan Selatan yang dalam sepuluh tahun terakhir tersebut pada kenyataannya tidak lepas dari nilai-nilai budaya Banjar yang dianggap sebagai dasar masyarakat menikahkan anak-anaknya di usia dini.
Nilai-nilai budaya Banjar yang erat sekali kaitannya dengan fakta pernikahan dini adalah Pertama, prinsip cepat laku terhadap anak perempuan. Anak perempuan yang cepat menikah menjadi suatu kebanggaan bagi orang tua sehingga mereka beramai-ramai menikahkan anak di usia dini. Padahal pernikahan bukanlah ajang perlombaan melainkan pernikahan harus berdasarkan kesiapan mental. Akan tetapi, budaya eksploitatif terhadap anak, membuat anak-anak di Kal-Sel tidak berdaya menghadapi kehendak orang tua mereka yang menginginkan pernikahan itu maupun orang yang menikahi.
Kedua, nilai ekonomi yang berisi prinsip mengurangi beban orang tua. Dengan menikahkan anak, orang tua beranggapan bahwa tanggung jawabnya telah lepas untuk kesejahteraan anak. Padahal jika pernikahan tersebut gagal, justru akan menambah beban orang tua bahkan lebih besar.
Ketiga, nilai norma agama yang berisi prinsip daripada anak hamil di luar nikah (zina) dan mempermalukan orang tua, lebih baik dinikahkan saja.
(Sambil menyerahkan bungkusan berisi sembako seperti beras, minyak, gula, dan lainnya) “Ini buat kamu Rim, maaf ya cuma ini yang bisa ku berikan untukmu. Oh ya ayahnya Sari titip salam maaf tidak bisa hadir soalnya menemani Sari di rumah, dia kan sekolah besok.”
“Iya tidak apa-apa Gis, ini sudah lebih dari cukup, terima kasih ya. Anakmu Sari memangnya sekarang sudah tingkat berapa?”
“Dia baru SMP kelas satu (kelas VII) dan sekarang masa-masa dia adaptasi di sekolah dengan sistem yang baru makanya perlu pendampingan yang cukup ekstra.”
“Wah gak terasa ya, sudah besar saja anakmu Sar, 3 tahun ke depan sepertinya posisi ku bakal kamu rasakan juga.”
“Iya, alhamdulillah. Tapi, Sari gak menikah muda Rim, soalnya dia bakal lanjut ke SMA kalau bisa sampai sarjana sesuai harapan aku dan ayahnya.”
“Gis hidup itu ya realistis saja, zaman sekarang yang serba susah kamu masih membebani hidupmu dengan berpikir menyekolahkan anakmu sampai sarjana?”
“Aku gak mau Rim anakku mengalami nasib yang sama seperti hidup yang ku alami. Aku ingin dia menjadi anak yang sukses dan mandiri. Lagipula Rim, anak itu titipan bukan beban.”
“Iya aku tahu, tapi kalau dia sekolah tinggi kan bebannya ke aku juga Gis. Dan laki-laki yang menikahi Isna juga kehidupannya mapan jadi aku yakin dia bukan hanya bisa memenuhi kebutuhan Isna tapi juga kebutuhan keluargaku.”
“Iya kalau dari sudut pandang ekonomi keluargamu mungkin terbantu. Tapi apa kamu yakin, mental Isna siap menghadapi kehidupan pernikahan? Karena kalau sampai mentalnya tidak siap, ujung-ujungnya apa tidak menjadi beban yang lebih berat lagi, buat keluargamu Rim?”
Banyak orang di luar sana atau masyarakat yang berpikir bahwa menikah itu merupakan jalan keluar (way out) dari segala masalah dan tujuan akhir dalam kehidupan. Padahal menikah bukanlah hal yang sesimpel dan sesederhana itu. Pernikahan itu justru gerbang kehidupan yang sesungguhnya. Gerbang di mana kamu akan menemui berbagai macam masalah baru dalam hidup.
Pernikahan usia dini bukanlah solusi dari permasalahan melainkan potensi menimbulkan masalah baru dan besar, seperti yang disampaikan Child Protection Team Leader Wahana Visi Indonesia, Emmy Lucy Smith. Beliau mengatakan bahwa terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah pernikahan usia dini, terutama perempuan. Mulai dari pendidikan yang terhambat sehingga sulit untuk meraih cita-cita, kehidupan masa depan dengan kualitas yang rendah, hingga risiko kesehatan.
Risiko kesehatan ini terjadi ketika perempuan usia dini hamil, risiko meninggalnya lebih tinggi karena kondisi rahim yang belum matang. Selain itu, tingkat perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga juga merupakan risiko lain yang akan diterima karena pernikahan usia dini.
Mengapa pernikahan di usia dini dapat mengakibatkan meningkatnya kasus perceraian? Hal tersebut terjadi karena kurangnya kesadaran untuk bertanggung jawab dalam kehidupan berumah tangga. Dalam usia dini, banyak keputusan yang diambil berdasarkan emosi. Emosi yang labil umumnya terjadi pada usia 24 tahun, karena pada saat itulah orang-orang mulai memasuki usia dewasa. Masa remaja berhenti pada usia 19 tahun. Jika pernikahan dilakukan di bawah usia 20 tahun, maka secara emosi remaja masih ingin berpetualang menemukan jati diri. Masa pencarian jati diri merupakan fase yang menandakan bahwa anak belum matang baik secara fisik, psikologis, maupun mental sehingga dia belum mengerti bagaimana mengelola rumah tangga dengan berbagai persoalan.
“Aku sudah mendidik Isna dengan baik, aku yakin mentalnya juga seperti aku dulu. Lagipula ini untuk masa depannya juga, kelak dia akan berterima kasih padaku, Gis.”
“Aku minta maaf sebelumnya Rim, bukan bermaksud ikut campur urusanmu atau meragukan cara kamu mendidik Isna, aku hanya kasian dengan Isna. Saat anak seusianya menikmati masa-masa remaja, dia justru menerima tanggung jawab yang besar sebagai istri.”
Menikah sebenarnya bukanlah hal yang salah ataupun dilarang, melainkan dalam pernikahan harus dipastikan dulu kondisi mental calon mempelai apakah dirinya sudah matang dan siap menghadapi kehidupan berumah tangga kelak.
Kehidupan pernikahan bukanlah hal yang remeh temeh, perlu mental yang siap dan kuat menghadapi berbagai permasalahan yang datang menghadang. Oleh sebab itu, pernikahan sebaiknya dilakukan oleh orang dewasa dengan tidak memandang profesi atau pekerjaan, agama, suku, hingga status sosialnya. Namun sebagian besar seseorang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan baik fisik dan mental akan mencari pasangan yang sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Setiap orang memang akan memasuki kehidupan pernikahan tapi sebelum hal itu terjadi puaskan dulu diri kamu menikmati masa-masa mudamu yang indah dan takkan terulang kembali sehingga tak ada penyesalan dikemudian hari. Selanjutnya pastikan dirimu sudah siap baik secara fisik, psikis, mental, dan finansial. Karena dalam sebuah pernikahan yang utama bukanlah cepat melainkan tepat, tepat waktunya dan tepat pula orangnya.
Kehidupan pernikahan bukan bersifat sementara tetapi untuk seumur hidup. Akan tetapi, tidak semua orang bisa memahami hakikat dan tujuan dari pernikahan yang seutuhnya, yaitu mendapatkan kebahagian dunia dan akhirat. (ZULFIA/DEL)