3 Tahun Cukup
Hari ini merupakan hari yang seharusnya cukup spesial untuk Arina dan Yoga, hari jadi mereka yang ke-3 tahun. Tapi berbeda dengan pasangan kebanyakan, Arina dan Yoga bukanlah sepasang kekasih yang gemar merayakan anniversary. Bagi mereka hari ini sama saja dengan hari biasanya, karena tidak penting seberapa lama durasi mereka bersama, yang terpenting adalah proses dan apa saja yang terjadi selama mereka terus memutuskan bersama-sama.
Bagi mereka seharusnya setiap hari begitu spesial karena mereka masih memutuskan bersama, namun karena perayaan tidak dapat dilakukan setiap hari, maka mereka sepakat untuk tidak menjadikan hari manapun lebih spesial dari hari lainnya. Awalnya, Arina dan Yoga baik-baik saja dengan kesepakatan itu, sampai satu ketika akhirnya sepakat tidak lagi menjadi milik mereka berdua.
Sebenarnya Arina hanya berpura-pura sepakat selama ini, hanya untuk menghargai Yoga yang merupakan tipikal lelaki tidak mau ribet dan tidak romantis. Tahun pertama, Arina masih kuat berpura-pura tidak iri kepada orang-orang yang begitu romantis merayakan hari jadi berpacaran mereka, tidak iri kepada perempuan-perempuan yang diajak jalan pacarnya keliling kota pada hari jadi mereka, tidak iri kepada perempuan-perempuan yang mendapat bunga kesukaannya pada hari jadi mereka, dan tidak iri kepada perempuan-perempuan yang dispesialkan begitu indah pada hari jadi mereka.
Tahun kedua, Arina juga masih cukup kuat berpura-pura, walau sedikit goyah. Ia menangis sendirian pada malam hari jadi ia dan Yoga, menangisi dirinya yang memikirkan mengapa hubungannya dan Yoga hanya penuh dengan hal yang datar dan itu-itu saja, hubungan mereka hanya berdinamika saat mereka beradu pendapat lalu berbaikan, mereka tidak pernah berada di situasi yang begitu bahagia hingga tidak bisa ditahan sampai tidak ingin mengakhiri satu hari bersama. Arina merasa tidak layak diperlakukan begitu ‘spesial’ bahkan hanya untuk satu hari saja. Malam itu Arina menangis sendirian dengan terus membalas pesan Yoga selayaknya tidak terjadi apa-apa. Yoga bahkan tidak sadar pacarnya sedang runtuh dan terluka sendirian.
Memasuki tahun ketiga, kemampuan berpura-pura Arina semakin runtuh. Kebetulan hari jadi mereka yang ke-3 tahun ini bertepatan dengan hari minggu, weekend, yang artinya Arina tidak perlu masuk kerja hari ini dan bisa bermalas-malasan seharian. Arina pikir di minggu pagi yang cerah itu dirinya akan bisa bangun dengan senyuman yang terukir lebar dan menjalani hari dengan membahagiakan karena di hari jadi mereka ia bisa bertemu Yoga seharian penuh. Namun, bayangan tersebut seketika hancur ketika ia terbangun saat merasakan ponselnya bergetar di samping bantal.
Yoga🖤 is calling you.
Arina mengangkat telpon tersebut dengan setengah sadar, tidak terpikir olehnya alasan mengapa Yoga menelpon sedini hari itu, pukul 04.16 WIB, tapi yang jelas ia harus mengangkatnya.
“Halo?”, suara serak Arina, nampak betul dirinya terbangun dari tidur.
“Halo, sayang. Aku kira kamu udah bangun siap-siap sholat subuh, makanya aku telpon, ternyata masih tidur. Maaf ya bangunin kamu,” ucap Yoga di seberang telpon.
“Iya, kenapa, beb?” Arina mengusap matanya yang terasa mengganjal.
Dari ujung sana, Yoga terdengar gerasak-gerusuk, seperti sedang mengobrak-abrik barang. “Ini beb, aku lupa banget ngabarin kamu, seminggu yang lalu Reza sama Arzi ngajakin ke gunung, aku udah iyain waktu itu, tapi aku lupa banget ngabarin kamu kalo kami berangkatnya hari ini, aku baru inget karena tadi di chat sama Arzi juga ditanyain siapa yang bertugas bawa kompor portabel, jadi aku telpon mau ngabarin kamu hari ini gak bisa main ke rumah kamu dulu, ini aku lagi siap-siapin barang aku, bentar lagi mau berangkat ke ruma Arzi. Maaf ya, sayang.”
Mata Arina yang awalnya setengah terpejam kini terbuka lebar, kaget dan seketika kecewa. Ia menatap ke arah lampu tidur kamarnya dengan nanar, kemudian beralih ke bingkai foto ia dan Yoga di samping kasurnya. Setitik air mata jatuh dari mata kirinya begitu saja.
Mengusap kasar air mata yang lewat itu, Arina berusaha biasa saja dan menahan tangis yang lebih keras lalu berkata, “Oh iya, nginep ya di gunungnya?”
Tak butuh waktu lama Yoga menjawab, “Iya, 3 hari deh kayanya.” Yoga masih gerasak-gerusuk, sepertinya saat ini ia sedang memakai jaket.
Arina bingung harus berkata apalagi dan hanya bisa berucap, “Oh…” kepalanya kosong, tidak bisa berpikir apa-apa.
“Sayang, udah dulu ya telponnya, ini aku udah mau berangkat ke rumah Arzi, nanti aku kabarin lagi detailnya lewat chat, kamu bisa lanjut tidur, tapi jangan lupa shalat subuh. I love you, sayang.” ucap Yoga terburu-buru.
Lebih dari 3 detik, Arina masih tidak bisa membalas kalimat “I love you” dari Yoga. Ia diam, terpaku dan pusing.
Yoga pikir Arina masih setengah sadar sehingga tidak bisa membalas perkataannya, kemudian ia berkata, “Kalau gitu aku matiin telponnya ya, dadah sayang.”
Telpon mati dan seketika air mata Arina bercucuran keluar tanpa bisa dibendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya, terisak hingga nafasnya tak beraturan. Matanya panas, hatinya kesal dan kecewa, pikirannya berisi hal paling buruk yang akan terjadi pada hubungan mereka.
“Aku udah gak sanggup lagi.” Arina merintih sambil menenggelamkan wajahnya pada guling pemberian Yoga.
Satu hari itu Arina isi hanya dengan menangis lalu ketiduran, terbangun lalu menangis kembali, hingga ibunya mengetuk pintu dan bertanya apa yang terjadi, tapi dirinya tak mampu menjawab, ia hanya bisa menangis.
Pesan dari tadi pagi yang dikirim Yoga belum Arina baca sampai saat ini, lebih tepatnya tidak sanggup ia baca. Rasanya ia tidak ingin lagi berurusan dengan apapun yang menyangkut Yoga dan hubungan mereka. Ia ingin sendiri, tenang dan damai.
Pukul 20.22 WIB. Arina terbangun dari tidurnya, hatinya kembali terasa sakit, seperti diiris-iris pisau tajam. Tapi meski begitu, air matanya telah kering, ia tidak bisa menangis lagi.
Arina bangkit, mengambil telponnya dan duduk di ujung kasur, membaca 5 pesan yang belum terbaca, dari Yoga. Pesan-pesan tersebut berisikan Yoga yang mengabari ia akan ke gunung mana, membawa apa saja, pulang hari apa, dan sebuah janji setelah Yoga pulang ia akan langsung jalan dengan Arina kemanapun Arina mau.
Sayangnya pesan yang dikirimkan yoga dan sebuah janji manis itu, tidak lagi jadi alasan senyum Arina terukir lebar. Setitik air mata kembali jatuh dari ujung mata kirinya, Arina mengusap lemah air mata tersebut. Kemudian dengan tangan yang bergetar, Arina mengetik pesan panjang pada kolom chat dengan nama kontak “Yoga🖤” itu.
“Yoga, aku gak tau kamu udah dimana, semoga kamu dan temen-teman kamu baik-baik aja. Makasih sudah ngabarin dan janjiin aku jalan-jalan, tapi maaf Ga, itu semua gak lagi jadi alasan aku ingin ketemu kamu, gak lagi jadi alasan aku ingin tetap ada di hubungan ini. Aku rasa 3 tahun udah cukup untuk aku dan kamu. Aku rasa 3 tahun udah cukup buat bahagiaku. Aku udah gak butuh lagi bahagia bareng kamu Ga, aku cuma mau hidup damai dan tenang setelah ini. Aku mau jalani hidup aku sendiri. Aku udah cukup sama semua ini. Kita udah cukup sampai disini.
Kalau kamu tanya alasannya kenapa dan masalahnya apa, jawabannya masalahnya di aku. Aku yang udah selesai sama perasaanku ke kamu. Aku yang udah selesai dengan proses bersama kamu. Sekarang, saatnya aku sendiri. Aku harap kamu mengerti itu.
Jaga diri baik-baik ya, Ga. Aku sayang kamu, tapi sudah sampai hari ini aja. Terakhir, i love you too, Ga, for the last time. Dadah Yoga, salam terakhir dari aku untuk kamu, keluargamu dan teman-temanmu. Aku sayang mereka semua, sampai hari ini.”
Arini mengirim pesan tersebut, menaruh ponselnya di atas nakas, sekaligus menaruh segala beban hatinya selama 3 tahun ini. Lega dan lepas. Arini keluar kamar sambil berteriak, “Ma, makan apa? Aku laperrrr huhuhu…”
(DEL/IAN)