Aku, Kau, Dan Mereka Menjadi Kita
Kilauan mentari membuat sinar keemasan terhadap setiap jejak disetiap celah penjuru bumi, menebarkan segala kebaikan guna menjaga perdamaian. Layaknya embun pagi yang menyejukkan, menentramkan setiap jiwa yang haus akan kemenangan, memberikan penerangan dari gelapnya jalan, membelah kesesatan yang menerpa indera tanpa pengetahuan. Sungguh, tidak ada jalan terbaik dalam kehidupan selain perdamaian, berdamai dengan waktu, tujuan, hingga kekuatan untuk saling mengalahkan. Tidak ada yang mampu melawan kebenaran bukan? Walaupun banyak pendatang dengan segala perbedaan dari segala penjuru yang datang, yang memberikan warna pada cahaya yang temaram, layaknya pelangi yang menghiasi langit setelah hujan.
Ia masih terdiam, berada pada perbedaan membuatnya begitu takut terasingkan, jauh dari kebahagiaan, hidup dalam tekanan. Sungguh, ia tidak ingin hidup dalam keadaan seperti itu. Melihat pada dirinya yang jauh dari kata sama semakin membuat atmosfir disekelilingnya terasa mencekam Menciptakan guratan sendu pada wajah yang se lalu berbinar sebelumnya.
“Hai, sampai kapan kamu akan terus berada disitu hanya berdiam diri dan menjauh dari keramaian?” tanya sebuah suara tak berwujud. Maniknya menatap heran sekitar ketika ia tidak menemukan siapapun disekitarnya. Tidak ada orang selain dirinya, hanya ada hamparan rumput yang luas dan beberapa pohon yang besar ditempatnya terdiam.
Huuhh. Terdengar helaan napas berat dari sang penanya ketika tidak ada sahutan dari sang empunya. “Jika kau bertanya siapa aku, maka aku adalah hamparan rumput yang luas yang sedang kau rebahi. Jika kau ingin bercerita, maka aku akan menjadi pendengar yang baik untukmu, jika kau mengizinkan maka aku akan menjadi penasihat yang sabar bagimu,” lanjutnya lagi.
Seseorang tersebut akhirnya membuka suaranya setelah beberapa waktu berlalu dalam kesunyian dan kesendirian tanpa ada satupun yang mau berteman. Bukan. Bukan tidak ada yang ingin berteman dengannya, namun memang ia yang menjauh dari keramaian. Rasanya begitu sepi dan senyap tanpa ada suara indah yang terlontar dari sempurnanya ciptaan sang penguasa. “Kau tahu, aku merasa sendiri ketika aku berbeda dari mereka, aku tidak memiliki bunga, hanya ada duri yang tertanam indah dalam diriku, Sayangnya … ah sudahlah kau tidak akan mengerti apa yang akan aku alami,” ucapnya dengan nada rendah dan sedikit ketus diakhir kalimatnya.
“Kau tahu, terkadang pikiran kita yang berlebihan membawa diri untuk menjauh dari keramaian. Kau hanya berbeda dari mereka karena kau tidak memiliki bunga. Sadarkah kau bahwa aku juga tidak memiliki bunga tapi aku tetap hidup berdampingan dengan mereka. Kau mampu tumbuh dengan caramu sendiri dan aku tumbuh dengan caraku sendiri. Namun, aku, kau, dan mereka memiliki tujuan yang sama yaitu untuk tumbuh menjadi berharga dan bermanfaat bagi bumi dalam menghidupkan paru-paru dunia. Aku, kau, dan mereka menjadi kita,” balasnya membuat mereka kembali terdiam merenungi setiap kata yang merasuk kedalam jiwa. Menyadari bahwa perbedaan tidak membuat mereka saling menjatuhkan, namun dengan perbedaan tersebut mampu saling menutupi kekurangan dalam mencapai satu tujuan. (Zu)