free page hit counter

“Kamu Muslimah Toleran, Jilbab di Sekolah Memang ada Kebebasan Nur”

Creative Content/Cerpen – Jam menunjukkan pukul enam pagi, udara di tempat anak sangat dingin, cuacanya hujan deras sekali. Terlihat mata anak mulai terbangun dengan kesadaran penuh dan menuju dapur mengambil air minum untuk menghilangkan rasa haus sehabis mimpi yang panjang, dilanjutkan pergi kamar mandi untuk membersihkan diri.

Selesai sudah dengan kamar mandi kemudian mulai mengambil air di gelas dan menuang air putih untuk minum kembali. Tiba-tiba setelah lepas dahaganya, muncul perasaan baru pada diri sang anak,

 “Mimpi tadi begitu lama.” Ungkap Nur dalam hati dan merasa sedih akan sesuatu.

“Ohya, apakah aku akan masuk surga? Karena diberi mimpi ini…. Atau… jangan-jangan aku masuk neraka?” Ungkap anak polos sambil duduk dan berpikir.

Sang anak karena kesiangan bangun langsung bergeges bersiap-siap untuk memulai aktivitas pertamanya di kota ini. Kemudian menuju sekolahnya di salah satu SMP Negeri Kalimantan Selatan.

Karena dia yang lebih awal tiba di kelasnya, mulailah dia memilih bangkunya yang ada di bagian kanan paling belakang.

Jam istirahat dia bertemu anak gadis sekelasnya, yang tidak memakai jilbab, beragama hindu.

Mereka memulai percakapan di kantin, “kenapa kamu tidak memakai jilbab? Kamu Nur Aisyah -kan namanya?”,  sapa Bhavya yang peduli.

“Karena tadi aku nonton berita bahwa peraturan pemerintah melarang pihak sekolah memaksa mewajibkan berjilbab dan sebaliknya. Jadi, tadi ketika di warung dekat gerbang sekolah, aku lepas jilbabku kan sudah bebas. Kalau dirumah aku takut dimarahin mamaku.”, tutur Nur Aisyah.

“Oh, begitu ya. Aku duluan ya masuk kelas?”, Bhavya selesai meneguk mie gelasnya, lalu berjalan menuju kelas sembari perasaan peduli mengenai temannya yang terus membuatnya penasaran karena peduli temannya yang beragama Islam.

Nur masih tetap menyantap kue donatnya di warung tadi, datanglah seorang anak laki-laki bernama Abdul Rohman Hakim duduk di hadapan meja dan menyapanya,

“Hai, namaku ada tiga looh,”

Lah, maksudnya?, Nur bingung gelagat laki-laki yg mukanya sangat bercanda  ini.

“Ya namaku Hakim, tapi aku juga kadang dipanggil Rahman, tapi kamu boleh memanggilku Abdul. Kamu siapa? Anak baru ya di kelas 2 ini? aku baru lihat.”

“Betul Dul, Aku pindahan dari SMP Negeri Kalimantan Utara, Aku Nur Aisyah. Mau donat? ini aku masih ada 2.”

“Ngga, makasih Nur. Dimana rumahmu tinggal?,” tanya Abdul kepo.

 

“Di Jalan Bumi Utara Komplek Harmoni masuk ke dalam tepat disamping warung Rakit Chicken No.20 Rt.21 Banjarmasin Timur,” terang Nur dengan senyumnya penasaran terhadap lelaki itu.

 

“Nomor whatsappku 0863 7224 xxxx, hahahaha”, Nur sambil tertawa.

 

Empat jam kemudian pukul 14 wita, lonceng sekolah berbunyi, semua siswa tidak bisa pulang karena hujan yang masih belum teduh, namun tidak begitu deras. Nur Aisyah telah pulang duluan dia naik go-mobil namun dia lupa meninggalkan payung portabelnya di kolong meja.

Di tengah perjalanan Nur ternyata sadar akan payungnya yg tertinggal dan 2 panggilan telpon tidak terjawab, dan sebuah foto melalui chat whatsapp dikirimi oleh seseorang yang mengenalkan dirinya Abdul teman sekolahnya mau minjam payung untuk pulang.

“Nur, ini aku Abdul, aku hafal lo nomor telponi tadi, ohya kamu sudah enak kan pulang naik Go-mobil ga kehujanan, sini payungmu aku pinjam aja ya? ada tadi terlihat dikolong mejamu berwarna pink.” tulis Abdul melalui Whatsapp.

Malam harinya Abdul mampir ke rumahnya mengembalikan payung yg dia pinjam dari Nur.

Ibunya Nur, Latifah, mulai percakapan dengan Abdul di meja makan dapur saat malam hari sesudah maghrib. Lalu, Nur diminta pergi ke warung membelikan gula yang habis untuk membuatkan teh untuk tamunya Abdul.

Lalu Ibunya tahu soal masalah Jilbab anaknya yang dilepasnya ketika di sekolah, yang belum peduli akan keagamaan terlekat pada dirinya.

Abdul ini ternyata ditanya darimana tahu? Lalu bilang “saya tidak sengaja menguping mereka bicara di kantin tadi. Gadis yg bernama Bhavya kalo tidak salah namanya.”

Abdul pulang, Nur juga telah tidur, Ibunya masih merenung dan berpikir.

“Bagaimana aku bisa mengajarkan Jilbab karena dia gadisku yang seorang muslimah?”,

“Bagaimana juga agar aku bisa mengajarkan agar dia tidak menilai teman-temannya yg tidak pakai jilbab agar dia ada juga sikap toleransi nantinya?”, Lalu ibunya pun tertidur.

Esok pagi yang mendung, hanya gerimis membasahi sepatu Nur. Telapak kakinya melangkah menuju kursinya di kelas 2. Pelajaran dimulai oleh guru kelasnya, lonceng istirahat berbunyi keras, keluarlah semua anak didik dari kelasnya masing-masing.

Nur kembali menuju kantin favoritnya, mengambil donat lagi yang rasa strawberry sebanyak 4 buah ke piringnya. Kali ini dia melihat Bhavya duduk sendirian di kantin ujung, lalu mendatanginya.

“Hei Bhavya, mau donat?”

“Boleh yang strawberry aku suka sekali, terimakasih. Eh, Nur sehabis pulang sekolah ajarin aku mata pelajaran ini dong?” (sambil menunjukkan buku catatan yg dipegangnya).

 

“Oke deh, nanti main ke rumahku dekat aja kok!”

 

Sampai di rumah, Bhavya diajarkan Nur masalah mata pelajaran yang sulit tadi di terasnya. Selesailah belajar bersama, namun sebelum Bhavya pulang Ibunya Nur manggil Nur untuk mematikan kompor gas yang katanya sedang nyala memasak. Lalu, Ibunya bergegas menitipkan surat kepada Bhavya.

Nur kemudia bergelagat ke Ibunya, “Ma! kompornya ga nyala, ga ada yg dimasak!? haduuh…”

“Mama kadang lupa nak, maaf anakku sayang”, peluk Ibunya kepada Nur.

Bhavya kemudian senyum santai saja melihat mereka berdua berpelukan, lalu minta izin pamit untuk pulang.

Ternyata tanpa diduga isi surat tersebut sungguh mengejutkan. Yang intinya, Ibunya Nur meminta tolong kepada Bhavya agar dapat memberikan surat itu kepada Nur ketika di sekolah nanti namun tanpa nama atau dirahasiakan pengirimnya.

Amplopnya dibuka oleh Bhavya, di dalamnya ada dua lembar kertas surat. Surat yang pertama bertujuan meminta Bhavya mengirimkan surat ini kepada Nur tanpa ketahuan siapa yg mengirimnya. Surat yg kedua adalah isi pesan inti dari Ibunya Nur tadi.

Hari kedua di sekolah barunya, Nur nongkrong lagi di kantin kesukaannya, lalu kembali ke ruang kelas 2 namun ada yang berbeda hari ini, terjadi hal yang luar biasa menurut Nur, sebuah surat yang didapatkan di bawah alas Tasnya di kursi ketika dia menggeser tasnya.

4 jam kemudian, Lonceng bel berbunyi, semua siswa pulang, tersisa Nur duduk dalam kelasnya terlihat melamun, entah apa yang dipikirkan dan dirasakannya. Abdul pun menghampirinya.

“Nur, kamu kenapa kok menangis?”

“Aku baru sadar sekarang, ternyata, surat ini, tanpa nama, sepertinya ajaran temanku di kelas ini sangat peduli sekali dengan keagamaanku. Jadi, mulai besok aku akan memakai jilbabku Dul.”

“Tapi di surat ini, dia juga mengajarkan sisi lainnya, katanya aku harus toleransi jika nanti-nantinya melihat temanku yang tidak berjilbab. Katanya, Kamu Muslimah toleran, jilbab di Sekolah memang ada kebebasan Nur, keharmonisan dan sekolah ini milik kita bersama, terlepas apapun agamanya, namun jagalah juga agar Agama diri sendiri tidak goyah.

“Aku bahkan 2 hari lalu ada mimpi menjadi gadis muslimah yang rapi dengan jilbabnya, tapi saat di mimpi itu aku selalu mengkomentari teman-teman sekolah beragama Kristen dan Hindu, yang tidak berjilbab, saat itu aku menangis sekali, kenapa  aku bermimpi hal yang tidak baik itu.”

“Hmm, begitu ya. Aku duluan pulang ya, sudah jangan menangis lagi, aku tidak akan menghakimi kamu. Sebagai sesama aku akan senantiasa mengingatkan terutama terkait kewajiban. Dan, juga kita pastinya menghormati terhadap teman kita yang beragama hindu di sekolah ini seperti Bhavya, yang tidak berjilbab janganlah kita mengkomentari atau memaksanya. Mungkin kita bisa pulang bareng Nur sampai depan komplek itu.” “Ayoo dul, makasih ya atas nasehat nya.” (Srh/Nov)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *